homephoto grallerybuku tamulinktentang kamihome

09 Januari, 2010

tanaman identitas kabupaten dan kota di jawa barat

Gandaria Flora Identitas Provinsi Jawa Barat 
GANDARIA (Bouea macrophylla Griff.)
Nama Lain : Ramania
Suku : Anacardiaceae
Latar Belakang
Tanaman Gandaria merupakan ta-naman asli Indonesia. Masyarakat Jawa Barat, terutama yang bersuku Sunda, terkenal menyenangi sambal lalapan mentahnya. Termasuk da-lam kelompok lalapan ini adalah buah Gandaria. Buah Gandaria mu-da diramu pula menjadi rujak Ka-nistren yang dipergunakan dalam upacara Tebus Wetengan pada saat wanita sunda hamil 7 bulan. Nama Gandaria diperoleh dari warna kulit ari bijinya yang ungu kemerahan (Gandaria). Dari segi budaya, me-mang gandaria lebih memasyarakat di Jawa Barat. Buah Gandaria dapat dibuat asinan ataupun dimakan segar. Berdasarkan pertim-bangan-pertimbangan yang mantap, Pemerintah Daerah Jawa Barat menyatukan pilihan pada gandaria untuk pengenalnya.
 Pertelaan
Pohon Gandaria tidak begitu tinggi, hanya setinggi pohon jambu bol atau sekitar 27 m. Tajuknya membulat, rimbun dan untaian daunnya berjuntai. Daun bundar telur memanjang sampai lanset atau jorong, mengkilat dan ujngnya runcing. Perbungaan di ketiak dan berbentuk malai. Bunga berwarna kekuningan dan segera berubah menjadi coklat. Buah berbentuk agak bulat dan berwarna kuning sampai orange.
Ekologi
Pohon Gandaria secara alami tumbuh di hutan tropika basah di bawah 300 m dari permukaan laut. Tetapi Gandaria dapat ditanam sampai pada ketinggian 850 m dpl.
Pembudidayaan
Pohon Gandaria lambat pertumbuhannya, Pohon yang berumur 4 tahun dan berasal dari biji, hanya mencapai tinggi 2 m. Perba-nyakkan tanaman selain dengan menggunakan bijinya, juga dapat diperbanyak dengan cara mencangkok.
Musim berbunga/berbuah
Bunga Gandaria muncul antara bulan Juli-November dan buah dipanen pada bulan Maret-Juni.
 
Kina Flora Identitas Kabupaten Bandung 
KINA (Cinchona officinalis L.)
Nama lain : -
Suku : Rubiaceae
Latar Belakang
Kina (Cinchona officinalis L.) atau dengan nama-nama sinonim Cinchona ledgeriana Moens ex Trimen dan Cinchona calisaya Wedd. berasal dari Bolivia, Amerika Selatan. Kina pertama kali dibawa ke Indonesia pada bulan April tahun 1852 yang di-datangkan dari Belanda. Kemudian bibit Kina tersebut ditanam di Pasir Tjibodas atau yang sekarang dikenal dengan nama Kebun Raya Cibodas. Teysmann saat itu menjabat sebagai Hortulanus kebun tersebut. Dengan ditanamnya Kina yang berasal dari daerah subtropik di Pasir Tjibodas, dapatlah dikatakan bahwa Kebun Raya Cibodas telah memberikan nilai penting bagi sejarah awal budidaya Kina di Indonesia. Kemudian pada tahun 1856, Dr. F.W. Junghuhn memindahkan tanaman Kina ini untuk ditanam dan diperbanyak di daerah pegunungan di kawasan perkebunan teh di Pangalengan, Kabupaten Bandung. 
Kulit pohon Kina mengandung quinine yang merupakan bahan utama untuk obat antimalaria. Namun saat ini penggunaan quinine sebagai obat antimalaria telah banyak digantikan oleh obat-obatan sintesis yang dianggap lebih manjur. Oleh karena itu populasi pohon Kina khususnya yang ditanam di Kabupaten Bandung saat ini mulai terancam keberadaannya. Oleh karena itu pemerintah daerah Kabupaten Bandung memilih Kina sebagai flora identitas daerahnya dengan tujuan agar tanaman ini tetap lestari.
Pertelaan
Pohon, tinggi mencapai 16 m. Kulit batang tebal, coklat abu-abu sampai coklat. Daun saling berhadapan, lonjong sampai jorong, permukaan bawah terdapat domatia, daun muda coklat kemerahan. Perbungaan malai di ujung-ujung percabangan; bunga harum, mahkota bunga membentuk tabung dan putih kekuningan, benang sari berseling dengan daun mahkota bunga dan melekat pada tabung mahkota, tangkai putik membentuk discus, kepala putik bercabang 2. Buah kapsul, agak bulat – bulat telur lanset, gundul atau berbulu jarang. Biji lonjong gepeng dan ujungnya bersayap.
Ekologi
Di habitat alaminya, Kina tumbuh di daerah yang curah hujan per tahunnya sangat tinggi yaitu mencapai 4000 mm serta dengan kelembaban udara yang relatif tinggi. Kina tumbuh secara optimal pada daerah dengan curah hujan 2500 – 3800 mm per tahun. Di Asia, Kina tumbuh bagus di daerah dengan suhu minimum rata-rata 14 0C dan suhu maksimum rata-rata 21◦ C dan dapat tumbuh pada ketinggian 800 – 2000 m di atas permukaan laut.
Pembudidayaan
Di Jawa tanaman Kina umumnya ditanam di daerah pegunungan yang curah hujan dan kelembaban udaranya tinggi. Perbanyakan tanaman biasanya dengan cara mengecambahkan bijinya. Karena biji Kina kecil maka dalam mengecambahkan harus terlindung dari angin, hujan dan sinar matahari langsung. Biji mulai berkecambah 2 – 3 minggu setelah dibenamkan kedalam medium tanah. Semai yang berumur 4 – 6 bulan atau tingginya 5 – 10 cm dapat dipindahkan ke pembibitan.
Musim berbunga dan berbuah
Musim berbunga dan berbuahnya belum diketahui.
 
Kemang Identitas Flora Kabupaten Bogor
KEMANG (Mangifera kemanga Blume)
Nama lain : Palong
Suku : Anacardiaceae 
Latar Belakang
Buah Kemang merupakan salah satu jenis buah-buahan yang cukup populer dikenal oleh masyarakat di Kabupaten Bogor. Rasa manis-asam dan bau buah Kemang yang khas merupakan ciri khasnya. Tanaman ini selain ditanam di pekarangan dan di kebun-kebun juga banyak dijumpai di pinggiran atau di bantaran-bantaran sungai di wilayah Kabupaten Bogor. Pada waktu musim buah Kemang maka buah ini banyak dijumpai dan dijual di pasar-pasar di Kabupaten Bogor dan sekitarnya. 
Buah Kemang yang telah masak (tua)selain dimakan segar juga dapat dibuat sebagai jus buah. Sedangkan buah Kemang yang masih muda dapat dibuat rujak dan dauunya yang muda juga dapat dimakan sebagai lalab. Kemang tumbuh secara alami di Sumatera, Kalimantan dan Semenanjung Malaysia.
Untuk melestarikan Kemang maka pemerintah daerah Kabupaten Bogor memilih tanaman ini sebagai flora identitas daerahnya yang dirumuskan dengan SK Bupati Nomor 522/185/kpts/Huk/1996.
Pertelaan
Pohon mencapai tinggi 45 m dengan garis tengah batang 120 cm. Tajuk berbentuk menyerupai kubah dengan percabangan yang tidak rapat. Kulit batang berlekah dan mengandung getah yang dapat menyebabkan iritasi. Daun jorong sampai lanset, seringkali mengumpul di ujung-ujung percabangan. Tangkai daun agak duduk (melekat) pada ranting. Perbungaan malai di ujung-ujung percabangan. Bunga merah muda pucat dan harum. Buah batu, bulat telur terbalik sampai lonjong, kulit tipis, coklat kuning suram apabila masak, daging buah keputihan, lunak, berair dan berserat, beraroma tajam dan rasanya asam sampai manis. Biji jorong sampai lanset.
Ekologi
Kemang umumnya tumbuh di dataran rendah di daerah tropik basah di bawah ketinggian 400 m di atas permukaan laut dan jarang sampai ketinggian 800 m dpl. Tanaman ini memerlukan persebaran curah hujan yang merata sepanjang tahun dan tumbuh baik di pinggiran sungai yang secara berkala tergenang air.
Pembudidayaan
Kemang biasanya ditanam di pekarangan dan di kebun-kebun serta di pinggiran/bantaran sungai. Perbanyakan tanaman umumnya dengan cara mengecambahkan bijinya. Namun dimungkinkan juga dengan cara enten.
Musim berbunga dan berbuah
Musim berbunganya mulai bulan Oktober sampai Desember. Sedang musim berbuahnya terjadi pada musim penghujan yaitu mulai bulan November sampai Maret. 
 
Bunga Fatma Flora Identitas Kabupaten Ciamis 
BUNGA PATMA (Rafflesia patma Blume)
Nama lain : -
Suku : Rafflesiaceae
Latar Belakang
Bunga Patma merupakan kerabat dekat Bunga Padma Raksasa (Rafflesia arnoldii R.Br.). Berdasarkan penelitian Meijer, jenis ini sama dengan jenis Padma Raffle-sia zollingeriana Koorders karena bentuk dan ukuran bunganya sangat mirip. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan asli Indonesia dan mempunyai daerah persebaran yang sangat terbatas, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Lampung (Sumatera). Karena persebarannya yang terbatas dan sangat jarang dapat ditemukan di habitat aslinya maka Bunga Padma ini digolongkan dalam tumbuhan langka Indonesia dengan status genting. 
Jenis tumbuhan ini sering kali diambil kuncup bunganya dan dipergunakan sebagai bahan obat tradisional dan diduga berkhasiat untuk meningkatkan gairah seksual wanita. Bunga Padma merupakan tumbuhan yang sangat unik yaitu sebagai holoparasit pada tumbuhan liana yang dinamakan Tetrastigma leucostaphyllum (Deenst.) Alston ex Mabb. (T. lanceolarium (Roxb.) Planch.)
Untuk melestarikan Bunga Patma maka pemerintah daerah Kabupaten Ciamis memilih jenis tumbuhan ini sebagai flora identitas daerahnya. 
Pertelaan
Bunga berumah dua, apabila mekar sempurna berdiameter 20 – 30 cm. Panjang cuping perigone 13 – 19 cm, lebar 10 – 14 cm, merah kecoklatan dengan bintil-bintil keputih-putihan. Diameter lubang diafragma sekitar 5 – 7 cm. Tugu mendukung banyak cuatan-cuatan pada bagian atasnya.
Ekologi
Patma tumbuh di hutan-hutan primer mulai dari tepi laut sampai pada ketinggian 100 m diatas permukaan laut dan.merupakan jenis tumbuhan holoparasit pada Tetrastigma leucostaphyllum (Deenst.) Alston ex Mabb. (T. lanceolarium (Roxb.) Planch.). Tumbuhan inang ini tumbuh merambat dan berasosiasi dengan berbagai jenis pohon antara lain Pongamia pinnata, Neesia altissima, Tabernaemontana sphaerocarpa, Pterospermum diversifolium.
Pembudidayaan
Kebun Raya Bogor pernah menanam tumbuhan ini pada tahun 1866, 1879, dan 1929. Penanaman tumbuhan ini juga pernah dilakukan oleh Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Teknik pembudidayaannya belum diketahui secara baik sehingga sampai sekarang tumbuhan ini belum berhasil dikembangkan.
Musim berbunga dan berbuah
Musim berbunga dan berbuahnya belum diketahui
 
Samolo Identitas Flora Kabupaten Cianjur 
SAMOLO (Diospyros blancoi A. DC.)
Nama lain : buah mentega, bisbol, mabolo
Suku : Ebenaceae
 Latar Belakang
Samolo berasal dari Filipina dan kemudian menyebar ke berbagai negara tropis lain-nya termasuk Indonesia. Di Jawa Barat khususnya di dae-rah Kabupaten Cianjur, Samolo banyak ditanam di pekarangan atau di kebun-kebun penduduk. Pada saat musim buah Samolo maka buah-buahan ini dapat dijumpai di pasar-pasar di daerah Kabupaten Cianjur dan sekitarnya. 
Selain buahnya yang enak dimakan, kayu Samolo yang berwarna hitam dan tahan lama dapat juga dimanfaatkan untuk bahan kerajinan. Di samping itu pohon Samolo yang rindang dan teduh serta tidak mudah menggugurkan daun-daunnya juga bagus sebagai tanaman tepi jalan.
Oleh karena itu pemerintah daerah Kabupaten Cianjur telah memilih dan menetapkan Samolo sebagai flora identitas daerahnya dirumus-kan dengan SK. Bupati Cianjur No. 55.4/SK.133-Pe/1993 tanggal 20 Juli 1993.
Pertelaan
Pohon berumah dua, tinggi mencapai 32 m dengan garis tengah batang 80 cm. Tajuk mengerucut. Daun tunggal, berseling, lonjong, permukaan bagian atas hijau tua dan mengkilap, permukaan bagian bawah berambut keperakan, daun muda hijau pucat sampai merah jambu. Bunga jantan di ketiak dengan 3 – 7 bunga, kelopak bunga berbentuk tabung dengan 4 cuping, mahkota bunga terdiri atas 4 cuping dan putih krem, benang sari 24 – 30. Bunga betina soliter di ketiak, ukurannya sedikit lebih kecil dari bunga jantan. Buah beri, bulat, coklat kemerahan, berambut rapat coklat keemasan, daging buah keputihan yang rasanya manis dan aromatik. Biji 0 – 10, berbentuk baji dan coklat.
Ekologi
Samolo tumbuh bagus di daerah yang beriklim monsun mulai dari 0 – 800 m di atas permukaan laut. Tanaman ini juga dapat tumbuh pada hampir semua jenis tanah.
Pembudidayaan
Samolo biasanya ditanam di pekarangan dan di kebun-kebun. Perbanyakan tanaman umumnya dilakukan dengan mengecambahkan bijinya. Biji akan berkecambah sekitar 24 hari setelah biji dibenamkan dalam tanah. Perbanyakan dengan cara cangkok, pertunasan dan enten dapat pula dilakukan.
Musim berbunga dan berbuah
Musim berbunganya pada bulan Maret – Mei dan musim berbuahnya bulan September.

 
Mangga Gedong Gincu Flora Identitas Kabupaten Cirebon
MANGGA GEDONG GINCU (Mangifera indica L. kultivar ‘Gedong gincu’)
Nama lain : -
Suku : Anacardiaceaze
Latar Belakang
Mangga Gedong gincu merupakan salah satu kultivar mangga (Mangifera indica) yang harga buahnya paling tinggi dibandingkan dengan mangga lainnya di Indonesia. Buah Mangga ini mempunyai ukuran, bentuk, warna, rasa dan bau yang spesifik (khas) dan sangat menarik. Bentuk buahnya yang agak bulat, berukuran sedang, warna ku-lit buahnya yang kuning ce-rah me-rah keunguan serta daging buah-nya yang kuning cerah dengan rasa manis legit disertai bau harum membuat banyak orang terpe-sona. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau Mangga Gedong gincu sebagai “trade mark” Kabupaten Cirebon.
Nampaknya penyebaran tanaman ini di Jawa khususnya di Jawa Barat adalah sangat terbatas hanya di daerah Kabupaten Cirebon, Indramayu dan Majalengka. Mungkin habitat atau tempat tumbuh yang cocok untuk pertumbuhan Mangga ini sangat sesuai dengan ketika kabupaten tersebut. Buah Mangga Gedong gincu tampaknya dapat bersaing dengan negara-negara penghasil mangga lainnya seperti India, Pakistan, Thailand, Israel, Meksiko dan negara-negara Amerika Latin lainnya.
Dalam usaha untuk melestarikan dan meningkatkan pengembangan Mangga Gedong gincu maka pemerintah daerah Cirebon memilih dan menetapkannya sebagai flora identitas daerahnya.
Pertelaan
Pohon, tinggi mencapai 25 m dengan garis tengah batang 75 cm. Kulit batang coklat abu-abu dan berlekahan. Daun tunggal, berseling, jorong sampai lanset, kaku menyerupai kulit. Daun muda kemerahan. Perbungaan tersusun malai, jumlah bunga banyak sekali, hijau kekuningan. Buah agak bulat, kulit buah apabila masak kuning cerah merah keunguan; daging buah kuning cerah, berbau harum dan manis serta kenyal. Biji satu dan dibagian dalamnya terdapat endokarpium.
Ekologi
Tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 500 m di atas permukaan laut. Curah hujan optimum sekitar 1000 mm per tahun dengan musim kering lebih dari 3 bulan. Suhu udara optimumnya adalah 26-28◦C dan pH tanah yang disukai untuk pertumbuhannya adalah 5,5–7.
Pembudidayaan
Mangga Gedong gincu banyak ditanam di pekarangan dan di kebun-kebun. Perbanyakan tanaman umumnya dilakukan dengan cara mencangkok ataupun dengan mengecambahkan biji. Namun sekarang ini banyak yang melakukan dengan cara enten dan per-tunasan untuk kepentingan komersial.
Musim berbunga dan berbuah
Musim berbunganya pada musim kering dan umumnya sesudah 3 sampai 4 bulan kemudian buah telah masak. Musim panen mangga di Indonesia biasanya pada bulan Agustus sampai Oktober. 

 
Jeruk Garut Identitas Flora Kabupaten Garut 
JERUK GARUT (Citrus reticulate Blanco kultivar ‘Keprok Garut’)
Nama lain : Jeruk keprok, jeruk jepun, jeruk maseh
Suku : Rutaceae
Latar Belakang
Di Indonesia dikenal ada 5 kultivar Jeruk Keprok yang sangat popular, yaitu Keprok Siem, Keprok Batu, Keprok Madura, Keprok Tejakula dan Keprok Garut. Kultivar terakhir yaitu Jeruk Keprok Garut merupakan komoditi buah-buahan andalan dari Kabupaten Garut. Bahkan Jeruk Keprok Garut telah mendapat penghargaan sebagai salah satu Varietas Unggul Nasional yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor :760/KPTS.240/6/99 tanggal 22 Juni tahun 1999. Disamping itu pula berdasarkan Perda Nomor 9 tahun 1981, Jeruk ini juga telah dijadikan sebagai komponen penyusun lambang daerah Kabupaten Garut. Oleh karena itu citra Kabupaten Garut sebagai sentra penghasil jeruk di Jawa Barat khususnya dan nasional pada umumnya perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Untuk tujuan ini maka pemerintah daerah Kabupaten Garut telah memilih dan menetapkan Jeruk Keprok Garut sebagai flora identitas daerahnya.
Jeruk Keprok Garut selain dimakan buahnya sebagai buah meja juga dapat dibuat jus untuk minuman. Sedangkan kandungan pektin dan minyak atsiri yang terdapat pada kulit buahnya dapat dibuat selada. Tanaman Jeruk diduga berasal dari kawasan Indo China dan kemudian menyebar ke Asia Tenggara.
Pertelaan
Pohon kecil dan berduri dengan ranting-ranting yang ramping. Daun tunggal, lanset melebar atau jorong dengan ujung dan pangkal daun yang runcing. Perbungaan di ketiak, tunggal atau mengelompok, berbentuk gundung atau tandan. Bunga berkelamin 2; kelopak membentuk piala dengan 4 – 5 cuping, mahkota 4 – 5 cuping, benang sari 4 – 10 dengan discus berbentuk cincin, bakal buah agak bulat, tangkai putik silindris, kepala putik bulat mementol. Buah beri, agak bulat, kulit buah tipis dan mudah dikelupas, apabila masak orange cerah. Biji kecil dengan embrio berwarna hijau.
Ekologi
Tumbuh bagus pada daerah yang relatif beriklim dingin dengan ketinggian 600 – 1300 m di atas permukaan laut dan membutuhkan iklim kering yang nyata antara 3 – 4 bulan.
Pembudidayaan
Jeruk Keprok Garut umumnya dibudidayakan di kebun-kebun bahkan telah ditanam dalam jumlah yang cukup besar. Pada waktu musim buah, Jeruk Keprok Garut banyak dijual di pasar-pasar di Garut bahkan juga di beberapa kota/kabupaten di sekitarnya. Perbanyakan pada umumnya dilakukan dengan cara pertunasan, tetapi kadang-kadang juga dilakukan dengan cara penyambungan ataupun enten.
Musim berbunga dan berbuah
Musim berbunga dan berbuahnya belum diketahui 
 
Mangga Indramayu Flora Identitas Kabupaten Indramayu 
MANGGA INDRAMAYU (Mangifera indica L. kultivar ‘Indramayu’)
Nama lain : -
Suku : Anacardiaceae
Latar Belakang
Buah Mangga Indramayu mempunyai keistimewaan tersendiri apabila dibandingkan dengan buah mangga lainnya. Hal ini disebabkan karena buah Mangga Indramayu lebih enak dimakan sewaktu belum masak betul (hampir masak). Biasanya buah yang mendekati (hampir) masak, daging buah berwarna kekuningan dengan tekstur yang kenyal serta rasanya yang manis sedikit asam sangat cocok untuk dimakan mentah atau dibuat rujak. Oleh karena itu Mangga Indramayu cukup banyak penggemarnya terutama untuk dimakan mentah ataupun setelah masak.
Mangga Indramayu juga mempunyai daerah persebaran yang sangat terbatas yaitu di daerah Kabupaten Indramayu dan sekitarnya. Oleh sebab itu untuk melestarikan dan mengembangkan Mangga Indramayu maka dipilihlah mangga ini sebagai flora identitas daerah Kabupaten Indramayu.
Mangga (Mangifera indica L.) berasal dari kawasan Indo-Burma. India tercatat telah menanam pohon mangga ribuan tahun yang lalu.  
Pertelaan
Pohon tinggi mencapai 25 m dengan diameter batang 80 cm. Kulit batang abu-abu kecoklatan dan berlekah membujur. Daun tunggal, jorong sampai lanset dan kaku. Perbungaan malai di ujung-ujung cabang, bunga-bunganya padat, kuning kehijauan. Buah bulat lonjong, kulit buah kuning kehijauan, daging buah kekuningan dan rasanya cukup manis namun berserat. Biji satu dengan endokarpium di dalamnya.
Ekologi
Tumbuh di dataran rendah dengan musim kering lebih dari 3 bulan. pH tanah yang disukai untuk pertumbuhannya adalah 5,5 – 7.
Pembudidayaan
Mangga Indramayu pada umumnya ditanam di pekarangan dan di kebun-kebun. Perbanyakan biasanya dilakukan dengan cara mengecambahkan biji atau cangkok. Namun untuk kepentingan komersial sering kali dilakukan dengan cara pertunasan dan enten.
Musim berbunga dan berbuah
Musim berbunganya pada musim kering dan setelah 3 – 4 bulan kemudian buah akan masak. Musim panen buah pada bulan Agustus sampai Oktober.
 
Jambu Air Cincalo Identitas flora Kabupaten Karawang 
JAMBU AIR CINCALO (Syzygium aqueum (Burm.f.) Alston kultivar ‘Cincalo’)
Nama lain : -
Suku : Myrtaceae
Latar Belakang
Jambu Air Cincalo merupakan salah satu kultivar jambu air (Syzygium aqueum) yang telah popular dan dikenal oleh masyarakat luas khususnya di Kabupaten Kerawang. Jambu Air Cincalo mempunyai bentuk dan rasa manis asam yang khas sehingga banyak penggemarnya. Selain dimakan segar, buah Jambu Air Cincalo juga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan asinan maupun rujak. Pada waktu musim panen buah Jambu Air Cincalo maka buah-buahan ini banyak dijual di pasar-pasar terutama di daerah Kabupaten Kerawang dan sekitarnya. Jambu Air diduga berasal dari kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Saat ini populasi Jambu Air Cincalo terus menurun keberadaannya khususnya di Kabupaten Kerawang. Hal ini antara lain disebabkan karena masyarakat lebih suka menanam jenis buah-buahan lain yang nilai ekonominya lebih tinggi, misalnya rambutan, durian, mangga dan lain-lainnya. Disamping itu juga dengan berkurangya lahan pekarangan maupun kebun karena adanya perluasan pemukiman juga menyebabkan terancamnya populasi Jambu Air ini. Dalam usaha meningkatkan pengembangan dan pelestarian Jambu Air Cincalo maka pemerintah daerah Kabupaten Kerawang memilih jenis ini sebagai flora identitas daerahnya.
Pertelaan
Pohon mencapai tinggi 7 m dengan garis tengah batang 40 cm. Percabangan mulai pada bagian batang agak dibawah dan bertajuk tidak teratur. Daun duduknya berlawanan, lonjong sampai jorong. Perbungaan di ujung dan di ketiak dengan 3 – 10 bunga; kelopak membentuk tabung (hipantium), putih kehijauan; mahkota menyudip dan putih kekuningan, benang sari banyak dan berwarna putih. Buah bani, bulat gepeng sampai menggasing, halus, berair, merah cerah sampai putih kemerahan, manis asam. Biji 1 – 6, membulat dan kecil.
Ekologi
Tumbuh di dataran rendah tropika yang cukup lembab sampai pada ketinggian 1200 m di atas permukaan laut. Tanaman ini menyukai tipe tanah berat dan mudah dimasuki air.
Pembudidayaan
Jambu Air Cincalo ditanam di pekarangan dan di kebun-kebun. Perbanyakan tanaman umumnya dilakukan dengan mengecambahkan bijinya. Sedangkan perbanyakan secara klon tidak sulit dilakukan, antara lain dengan pencangkokan, setek dan pertunasan.
Musim berbunga dan berbuah
Musim berbunganya pada awal dan akhir musim kering. Sedangkan musim berbuahnya 1 – 3 bulan setelah musim berbunga.

 
Gadung Flora Identitas Kabupaten Kuningan 
GADUNG (Dioscorea hispida Dennst.)
Nama lain : Sikepa, ondo
Suku : Dioscoreaceae
Latar Belakang
Gadung merupakan tumbuhan asli Indonesia. Jenis tumbuhan ini mempunyai daerah persebaran yang cukup luas mulai dari India, Cina bagian selatan, Asia Tenggara sampai Niugini. Gadung jarang ditanam namun kebanyakan tumbuh dan berkembang biak secara alami. Umbi Gadung cukup enak dimakan namun harus melalui proses untuk menghilangkan racun “dioscorin” yang terdapat dalam umbinya. Caranya dengan memotong atau mengiris umbi menjadi bagian yang kecil-kecil, dicuci, dididihkan dengan air garam kemudian dicuci dengan air mengalir. Umbi Gadung bisa dimasak dan dijadikan keripik. Kadang-kadang racun pada umbi Gadung dimanfaatkan untuk meracuni binatang atau ikan. Dalam musim paceklik (keku-rangan pangan) maka umbi Gadung dapat diman-faatkan sebagai makanan alternatif.
Dari uraian diatas maka pemerintah daerah Kabupaten Kuningan memilih tanaman Gadung sebagai flora identitas daerahnya. Ber-dasarkan SK Bupati Kuningan No. 522.21/1278-LH/2000 tanggal 23 Oktober 2000.
Pertelaan
Herba merambat dan berumbi. Umbi bulat memanjang, kuning pucat sampai abu-abu terang, bagian dalam putih sampai kuning. Batang merambat dan berkelok kekiri serta berduri. Daun beranak daun 3, berbulu, anak daun yang ditengah melonjong sampai jorong, anak daun di bagian samping tidak simetris. Perbungaan jantan membulir, 2 – 3 karangan bunga, benang sari 6. Perbungaan betina soliter, mun-cul pada ketiak daun bagian atas, merunduk. Buah kapsul berkayu, bersayap 3 dan pecah. Biji bersayap.
Ekologi
Gadung umumnya tumbuh di daerah hutan hujan tropis dataran rendah sampai pada ketinggian 1200 m di atas permukaan laut.
Pembudidayaan
Gadung jarang ditanam namun biasanya tumbuh secara alami. Per-banyakan tanaman biasanya dengan umbi.
Musim berbunga dan berbuah
Musim berbunga dan berbuahnya belum diketahui.

 
Maja Flora Identitas Kabupaten Majalengka 
MAJA (Crescentia cujete L.)
Nama lain : Sikadal, bernuk, buah no
Suku : Bignoniaceae
Latar Belakang
Maja merupakan salah satu jenis pohon yang dikeramatkan oleh penganut agama Hindu. Dalam upacara pemujaan dewa Siwa, daun Maja merupakan salah satu bagian yang dipergunakan dalam upacara tersebut. Tanaman ini biasanya ditanam di halaman atau kebun dan taman-taman. Tanaman Maja juga dianggap merupakan simbol dari kesuburan yang diartikan sebagai pemberi harapan baik atau keselamatan. 
Maja berasal dari Amerika tropika dan kemudian menyebar luas hampir di seluruh daerah tropis termasuk Indonesia. Tanaman ini didatangkan ke Jawa sebagai akibat dari perkembangan kerajaan Hindu di Jawa. Namun sekarang ini penduduk menanam Maja untuk dimanfaatkan sebagai tanaman pagar (pembatas) ataupun tanaman hias. Sedangkan buah Maja biasanya dimanfaatkan untuk tempat mengambil air (gayung) dengan cara membersihkan isi bagian dalam buah yang tua. Setelah bersih, buah digantung dan diasapi sampai kulit buahnya menjadi keras.
Saat ini keberadaan Maja (khususnya di Jawa) sudah jarang dapat ditemukan. Hal ini antara lain disebabkan karena nilai guna tanaman Maja dianggap sudah tidak begitu penting lagi. Oleh karena itu un-tuk melestarikan tanaman Maja maka pemerintah daerah Kabupaten Majalengka telah memilih dan menetapkan tanaman Maja sebagai flora identitas daerahnya SK. Bupati No. 522.21/1278-LH/2000 Tanggal 22 Juni 1999.
Pertelaan
Pohon kecil, tingginya mencapai 10 m dengan garis tengah batang 30 cm, percabangan berkeluk-keluk. Daun tunggal, ukuran daun dalam satu karangan bervariasi, bundar telur terbalik, pangkal daun menirus dan ujung tumpul sampai runcing, tidak bertangkai daun. Bunga soliter atau berpasangan, kelopak bercuping 2, mahkota bunga membentuk tabung dan berwarna kekuningan dengan pertulangan keunguan. Buah beri, bulat sampai bulat telur menjorong dan berdiameter 13 - 30 cm.
Ekologi
Maja tumbuh di hutan savana terutama dibagian dekat pantai sampai pada ketinggian 800 m di atas permukaan laut.
Pembudidayaan
Pohon Maja sering kali ditanam di pekarangan dan di kebun-kebun sebagai tanaman pagar (pembatas) atau tanaman hias. Perbanyakan tanaman dengan cara mengecambahkan biji atau dengan stek.
Musim berbunga dan berbuah
Musim berbunga dan berbuah belum diketahui.

 
Jamuju Flora Identitas kabupaten Purwakarta 
JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laubenf.)
Nama lain : Kayu embun, cemba-cemba
Suku : Podocarpaceae
Latar Belakang
Jamuju merupakan tumbuhan asli Indonesia. Daerah perse-baran Jamuju cukup luas yaitu mulai dari Cina bagian sela-tan, Indo-China, Sri Lanka, Thailand, Malesia sampai Fiji. Kayu Jamuju mempunyai se-rat yang indah dan halus se-hingga sangat bagus untuk ba-han pembuatan mebel, rangka papan dan peralatan pertukangan. Namun kadang-kadang pohon Jamuju dapat pula dimanfaatkan sebagai tanaman hias.
Di daerah Kabupaten Purwakarta terutama di daerah-daerah dataran tinggi yang berhutan dapat ditemukan pohon Jamuju. Namun penduduk masih mengambil dan menebang pohon Jamuju di alam dan belum melakukan usaha pembudidayaannya. Oleh karena itu untuk melestarikan dan meningkatkan pengembangan Jamuju maka dipilihlah Jamuju sebagai flora identitas daerah Kabupaten Pur-wakarta.
Pertelaan
Pohon berumah dua, tinggi mencapai 50 m dengan garis tengah batang 75 cm. Kulit batang kasar dan berlentisel, coklat tua atau kehitaman, kulit bagian dalam pink sampai coklat kemerahan. Daun tersusun spiral, lanset dan menyerupai sisik-sisik yang saling menutupi. Daun mudanya menyebar dan menyerupai kulit. Reseptakel merah apabila masak. Biji soliter, berdaging, dengan involukrum dari daun yang memanjang runcing pada bagian pangkal, awalnya berwarna orange kemudian jadi merah atau ungu dan akhirnya berubah coklat.
Ekologi
Pohon Jamuju di alam tumbuh dominan pada lapisan kanopi atas di hutan-hutan primer pada ketinggian 700 – 2500 (3400) m di atas permukaan laut.
Pembudidayaan
Jamuju belum dibudidayakan. Cara perbanyakan tanaman adalah dengan mengecambahkan bijinya.
Musim berbunga dan berbuah
Musim berbunga dan berbuah belum diketahui  

 
Nenas Subang Identitas Flora Kabupaten Subang 
NENAS SUBANG (Ananas comosus (L.) Merr. kultivar ‘Subang’)
Nama lain : Nanas, ganas, naneh
Suku : Bromeliaceae
Latar Belakang
Nenas berasal dari Amerika Selatan. Pada abad ke 16, tanaman ini dibawa ke Filipina, Semenanjung Malaysia dan Indonesia. Sekarang tanaman ini sudah ter-sebar luas di kawasan tropika dan subtropika. Buah Nenas selain dimakan secara segar dapat juga diolah untuk beberapa sajian makanan maupun minuman. Antara lain dibuat jus, anggur ataupun minuman penyegar lainnya. Selain itu juga untuk pembuatan jam ataupun dicampur dengan buah-buahan lain untuk asinan dan rujak.
Di Kabupaten Subang dikenal ada satu kultivar Nenas dan masyarakat umum mengenalnya dengan nama Nenas Subang. Buah Nenas Subang rasanya khas dan manis. Oleh karena itu dalam usahanya untuk meningkatkan pendapatan petani Nenas dan pendapatan daerah maka pemerintah Kabupaten Subang memilih Nenas Subang sebagai flora identitas daerahnya.
Pertelaan
Herba, tinggi mencapai 1 m. Daun berbentuk pedang, tepi berduri, berdaging atau berserat, tersusun spiral. Perbungaan tersusun padat oleh banyak bunga yang duduk dan berwarna ungu kemerahan, setiap bunga didukung oleh suatu braktea, daun kelopak 3, daun mah-kota 3, benang sari 6, kepala putik bercabang 3. Buah membentuk suatu senokarpium dengan sumbu perbungaan yang menebal dan fusi setiap buah yang menyerupai bani kecil, kulit buah keras yang terbentuk dari kelopak dan braktea bunga menyelinder, dibagian ujung buah terdapat daun yang tersusun spiral dan disebut mahkota. Umumnya tidak berbiji.
Ekologi
Suhu udara untuk pertumbuhan nenas yang baik antara 23◦ dan 32◦ C, walaupun tanaman ini masih dapat tumbuh di daerah yang suhunya turun sampai pada 10◦ C. Curah hujan 1000 – 1500 mm per tahunnya adalah yang paling optimum. Kondisi tanah berpasir yang beririgasi bagus dan mengandung banyak bahan organik sangat cocok untuk pertumbuhan nenas. Dibutuhkan pH tanah antara 4,5 dan 6,5.
Pembudidayaan
Nenas umumnya ditanam di pekarangan dan di kebun-kebun. Namun sering juga ditanam sebagai pembatas pekarangan ataupun sebagai pagar hidup. Tanaman Nenas diperbanyak dengan cara menanam “mahkota” buahnya dan tunas anakannya.
Musim berbuah
Puncak musim buah Nenas adalah mulai bulan Mei sampai Juli

 
Guttapercha Identitas Flora Kabupaten Sukabumi 
GUTTAPERCHA (Palaquium gutta (Hook.f.) Baillon
Nama lain : Suntek, balam abang, getah merah
Suku : Sapotaceae
Latar Belakang
Palaquium gutta merupakan salah satu jenis pohon penghasil getah yang dinamakan “guttapercha”. Getah ini bernilai ekonomi cukup tinggi terutama untuk keperluan idustri ka-bel yang kedap air. Kayunya juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi (yang tidak langsung ber-hubungan dengan tanah). Selain itu kayu Gutta-percha juga mempunyai pola-pola yang menarik sehingga sangat bagus untuk bahan pembuatan mebel. Bijinya juga mengan-dung lemak yang cukup tinggi yaitu 58 – 63%. Pohon Guttapercha tumbuh secara alami di Semenanjung Malaya, Sumatera dan Kali-mantan. Di Jawa tanaman ini mulai ditanam di area perkebunan pada awal tahun 1930 di daerah Cipetir, Sukabumi. Penanaman secara besar-besaran ini terutama untuk diambil hasil getahnya yang ber-nilai ekonomi cukup tinggi. Untuk meningkatkan usaha pembudi-dayaan Gutta-percha maka pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi memilih tanaman ini sebagai flora identitasnya.
Pertelaan
Pohon mencapai tinggi 45 m dengan garis tengah batang 60 cm dan berbanir kecil. Daun tunggal, berseling, mengelompok diujung-ujung ranting, bundar telur terbalik sampai jorong, permukaan bawah keemasan. Bunga mengelompok 2 – 10 , hijau keputihan/kekuning-an. Buah bulat sampai bulat telur dan berambut halus kehijauan.
Ekologi
Tumbuh di hutan rawa air tawar di dataran rendah tetapi kadang-kadang dapat mencapai ketinggian sampai 1600 m di atas permukaan laut . 
Pembudidayaan
Tanaman Guttapercha telah ditanam sebagai tanaman perkebunan khususnya di daerah Kabupaten Sukabumi. Perbanyakan tanaman biasanya dengan cara mengecambahkan bijinya. Prosentase perkecambahan antara 75 dan 85 %. Selain dengan biji dapat pula dilakukan dengan cara stek dan cangkok namun keberhasilannya cukup rendah.
Musim berbunga dan berbuah
Belum diketahui

 
Jeruk Cikoneng Identitas Flora Kabupaten Sumedang 
JERUK CIKONENG (Citrus maxima (Burm.) Merr. kultivar ‘Cikoneng’)
Nama lain : Jeruk Besar
Suku : Rutaceae
Latar Belakang
Asal-usul Jeruk ini belum dapat dipastikan. Ada yang menganggap berasal dari kawasan Malaysia. Jenis ini telah tersebar sampai di Indo China, Cina bagian selatan, Jepang dan kearah barat sampai di India dan Amerika tropika.
Di Indonesia dikenal ada 3 kultivar Jeruk Besar yang sangat popular, yaitu kultivar Jeruk Bali, Jeruk Madiun dan Jeruk Cikoneng. Buah Jeruk Cikoneng mempunyai rasa yang khas dan manis. Buah Jeruk ini selain dimakan segar sebagai buah meja, kadang-kadang juga dibuat rujak atau diambil ekstraknya untuk dibuat jus. Bunganya yang harum dapat untuk bahan parfum. Daun, bunga, buah dan bijinya dapat pula dimanfaatkan untuk mengobati sakit batuk, demam dan sakit perut.
Daerah Kabupaten Sumedang merupakan sentra penghasil utama Jeruk Cikoneng. Namun akhir-akhir ini Jeruk Cikoneng sudah mulai jarang dapat ditemukan. Oleh karena itu untuk meningkatkan pengembangan dan pelestarian Jeruk Cikoneng maka pemerintah daerah Kabupaten Sumedang memilih Jeruk ini sebagai flora identitas daerahnya. Dengan dipilihnya Jeruk Cikoneng diharapkan pula adanya peningkatan/penambahan penghasilan petani jeruk dan pendapatan daerah.
Pertelaan
Pohon mencapai tinggi 15 m, percabangan menyebar, berduri atau tanpa duri. Daun bundar telur sampai jorong, terdapat bercak-bercak kelenjar minyak, tangkai daun bersayap melebar, sayap berbentuk jantung terbalik. Perbungaan di ketiak, dengan satu atau beberapa bunga yang mengelompok; bunga besar, berbulu, mahkota putih krem, benang sari 20 – 35. Buah buni, agak bulat, kuning kehijauan dengan bercak-bercak kelenjar yang padat, berkulit tebal, bagian vesikula merah jingga, rasa manis. Biji ada beberapa, besar dan kekuningan.
Ekologi
Tumbuh di daerah dataran rendah tropika, rata-rata suhu antara 25◦ dan 30◦ C dan musim kering berakhir untuk 3 sampai 5 bulan serta curah hujan tahunan 1500 – 1800 mm. Toleran terhadap berbagai tipe tanah mulai dari tanah pasir kasar sampai tanah liat berat. Tumbuh di dataran rendah sampai pada ketinggian 400 m di atas permukaan laut.
Pembudidayaan
Jeruk Cikoneng biasanya ditanam di pekarangan dan di kebun-kebun. Cara perbanyakan yang umumnya dilakukan adalah dengan mencangkok sedangkan perbanyakan dari biji jarang dilakukan. Selain itu juga dapat dilakukan dengan pertunasan.
Musim berbuah
Musim berbuahnya bulan April sampai Juni.

 
Mendong Identitas Flora Kabupaten Tasikmalaya 
MENDONG (Fimbristylis globulosa (Retz.) Kunth)
Nama lain : Daun tikar, purun tikus, mansiro lai
Suku : Cyperaceae
Latar Belakang
Mendong merupakan bahan dasar industri rumah tangga kerajinan tikar yang banyak dijumpai di daerah Kabupaten Tasikmalaya. Selain sebagai bahan dasar kerajinan tikar, Mendong juga dapat dibuat kerajinan lain di antaranya topi, keranjang dan lain-lainnya. Mendong selain ditanam di Jawa (khususnya di Jawa Barat) juga di Sumatera dan Sulawesi. Tanaman ini tumbuh tersebar mulai dari Ceylon, India, Asia Selatan, Cina, Micronesia dan Polynesia. Di Indonesia tumbuh di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Irian.
Untuk meningkatkan kesejahteraan pengrajin tikar dalam industri rumah tangga dan pendapatan daerah maka pemerintah Kabupaten Tasikmalaya memilih dan menetapkan tanaman Mendong sebagai flora identitasnya.
Pertelaan
Terna bertahunan, tinggi mencapai 1,5 m dan berakar rimpang. Batang tegak, kaku dan menggalah. Daun mereduksi tanpa helaian daun dan berbentuk tabung. Perbungaan majemuk dengan 40 bulir. Daun pembalut terdiri atas 2 – 3, melanset. Buliran soliter, bulat atau bulat telur sampai lonjong. Rakis bersayap; sekam spiral, mem-braneus dan bundar telur. Benang sari 2 – 3, kepala sari lonjong, tangkai putik melebar di bagian pangkal. Buah geluk bersegi tiga atau bikonvek.
Ekologi
Habitat alaminya di daerah dataran rendah basah berawa-rawa yang terbuka, sawah, ladang rumput. Tumbuh mulai pada ketinggian 300 – 700 m di atas permukaan laut dan jarang sampai 1000 m dpl. Jenis tanah tempat tumbuh umumnya berupa tanah berpasir.
Pembudidayaan
Mendong biasanya ditanam di sawah-sawah atau di ladang-ladang yang selalu berair. Cara perbanyakan yang umumnya dilakukan dengan memisahkan anakan (semai). Sedangkan dari bijinya juga dimungkinkan.
Musim berbunga dan berbuah
Belum diketahui

 
Petrakomala Flora Identitas Kota Bandung 
PETRAKOMALA (Caesalpinia pulcherrima (L.) Swartz)
Nama lain : Kembang merak, bunga merah, kembang patra
Suku : Caesalpiniaceae
  Latar Belakang
Petrakomala merupa-kan tanaman perdu yang berbunga cukup indah dan banyak di-manfaatkan sebagai tanaman hias di pe-karangan rumah, ta-man-taman maupun di pinggir-pinggir ja-lan. Di samping se-bagai tanaman hias, Petrakomala juga da-pat dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Air rebusan akar, kulit batang, daun dan bunganya apabila diminum dapat dipergunakan untuk obat cuci perut (pencahar) dan masuk angin serta demam. Tanaman ini berasal dari Amerika tropika dan telah menyebar luas hampir keseluruhan kawasan negara-negara tropika. Karena kein-dahan bunga Petrakomala maka pemerintah daerah kotamadya Bandung dengan SK Walikotamadya Bandung No. 522.51/ SK. 070.HUK tahun 1994 telah memilih dan menetapkan jenis tanaman ini sebagai flora identitas daerahnya. Dipilih dan dite-tapkannya Petrakomala sesuai dengan sebutan kota Bandung sebagai “Kota Kembang”. 
Pertelaan
Perdu atau pohon kecil dan tingginya mencapai 5 m. Cabang tidak berduri atau dengan duri-duri yang lurus.Daun majemuk menyirip ganda, panjang rakis 10–40 cm dengan 5–9 pasang sirip daun, daun penumpu mendapus. Anak daun saling berhadapan dengan jumlah 6–12 pasang anak daun pada setiap sirip. Perbungaan di ketiak atau di ujung-ujung ranting, berbentuk malai atau tandan. Bunga berkelamin dua, mahkota bunga merah atau kuning. Buah polong dengan 8 – 12 biji. Biji berwarna coklat atau hitam.
Ekologi
Petrakomala biasanya tumbuh di daerah dekat pantai dan menyukai iklim kering musiman.
Pembudidayaan
Tanaman ini pada umumnya ditanam di halaman-halaman rumah, taman-taman dan di pinggir-pinggir jalan. Cara perbanyakkan biasanya dilakukan dengan mengecambahkan bijinya. Biji mulai berkecambah setelah 2 minggu di dalam medium perkecambahan yang berupa tanah atau pasir.
Musim berbunga dan berbuah
Musim berbunga dan berbuahnya sepanjang tahun.

 
Kecapi Identitas Flora Kota Bekasi 
KECAPI (Sandoricum koetjape (Burm.f.) Merr.
Nama lain : Ketuat, sentul 
Suku : Meliaceae
Latar Belakang
Kecapi merupakan salah satu jenis buah-buahan asli Indo-nesia yang populasinya terus mengalami penurunan khusus-nya di Jawa. Hal ini antara lain disebabkan karena buah Ke-capi telah tersaingi oleh ber-bagai jenis tanaman buah-bu-ahan lainnya yang nilai ekono-minya lebih tinggi, misalnya mang-ga, rambutan, jeruk, du-rian dan lain-lainnya. Buah Kecapi selain dimakan segar juga dapat diproses untuk pembuatan gula-gula, sambal, yeli dan selai. Pohon Kecapi cukup rindang dan dapat di-manfaatkan sebagai pohon pe-neduh dan kayunya untuk bahan konstruksi rumah. Kulit batangnya dapat digunakan untuk membasmi cacing gelang. Sedangkan akarnya untuk mengobati diare, sakit perut dan juga sebagai tonik bagi ibu-ibu setelah me-lahirkan. Kecapi berasal dari kawasan Indo-Cina dan Malesia bagian barat kemudian menyebar ke daerah-daerah tropis lainnya di Asia terutama di Malaysia, Filipina, Thailand dan Viet-nam. Untuk men-jaga kelestarian pohon Kecapi maka pemerintah Kota Bekasi memilih tanaman ini sebagai flora identitas daerahnya.
Pertelaan
Pohon tinggi mencapai 30 m dengan garis tengah batang 90 cm dan bergetah. Daun berseling, beranak daun 3. Anak daun jorong sampai bundar telur lonjong. Perbungaan di ketiak dan berbentuk malai. Bunga berkelamin 2, hijau kekuningan, kelopak berbentuk piala dan terdiri atas 5 cuping, mahkota bunga juga terdiri atas 5 cuping dan melanset terbalik, benang sari 10 dan membentuk tabung, putik dengan kepala putik yang besar. Buah beri, bulat, kuning keemasan, berbulu halus, daging buah bagian luar tebal dan agak asam se-dangkan di bagian dalam putih yang rasanya manis asam. Berbiji 2 – 5, bulat telur terbelah dan kecoklatan.

Ekologi
Tanaman ini menyukai daerah dengan musim kering yang panjang. Tumbuh baik di daerah yang curah hujannya merata, pada tanah liat atau tanah liat berpasir dari ketinggian 0 – 1000 m di atas permukaan laut.
Pembudidayaan
Kecapi telah lama dibudidayakan dan umumnya ditanam di peka-rangan dan di kebun-kebun. Perbanyakan tanaman dilakukan dengan mengecambahkan biji. Biji akan mulai berkecambah kira-kira setelah 20 hari dari mulai dikecambahkan. Semainya akan tumbuh cepat dan dapat berbunga setelah berumur 5 – 7 tahun.
Musim berbunga dan berbuah
Musim berbunganya pada bulan Januari – Maret dan musim berbuah pada bulan Juni – Oktober.  

 
Kenari Flora Identitas Kota Bogor 
KENARI (Canarium vulgare Leenh.)
Nama lain : Ki tuwak, jal
Suku : Burseraceae
Latar belakang
Kota Bogor yang dikenal dengan sebutan “Kota Hujan” dengan Kebun Raya Bogor sebagai paru-parunya kota cukup dikenal oleh masyarakat luas baik di dalam maupun di luar negeri. Di sam-ping itu pohon-pohon Kenari yang banyak ditanam di pinggir-pinggir jalan raya juga merupa-kan pemandangan yang khas dan menarik di kota Bogor. Biji-biji Kenari yang telah diubah oleh tangan-tangan terampil menjadi suatu cinderamata juga merupa-kan ciri khas di kota ini. Pohon Kenari selain cukup rindang dan teduh serta daun-daunnya yang tidak mudah gugur, sistem per-akarannya pun juga tidak merusak jalan. Oleh karena itu tanaman ini sangat cocok untuk dimanfaatkan sebagai pohon pinggir jalan. Batang pohon Kenari juga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan perahu. Sedangkan bijinya dapat dipergunakan dalam industri ma-kanan dan pembuatan minyak yang juga mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Getah resinnya juga cocok untuk bahan pernis dan balsam. Kenari merupakan tumbuhan asli Indonesia. Daerah per-sebarannya adalah Pulau Kangean, Pulau Bawean, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Nugini. Tanaman ini kemudian tersebar luas hampir di seluruh kawasan tropika.
Dari uraian diatas maka pemerintah Kota Bogor memilih Kenari sebagai flora identitasnya yang dirumuskan dengan SK Wali-ko-tamadya Kepala Daerah Tingkat II Bogor No. 520/SK.219-Ekon/95 Tanggal 25 Oktober 1995.
Pertelaan
Pohon besar mencapai tinggi 45 m dengan garis tengah batang 70 cm dan bebas cabang 20 m, akar banir mencapai tinggi 3 m. Kulit batang bagian luar keabu-abuan dan dibagian dalamnya mengeluarkan resin keputihan. Daun terdiri atas 5 – 11 anak daun; anak daun dengan ujung meruncing, tepi rata, urat daun 12 – 15 pasang dan di bagian permukaan bawah menonjol. Perbungaan terdapat dibagian terminal, berbentuk malai melebar. Bunga jantan lebih kecil daripada bunga betina. Buah bulat telur dan apabila dibelah melintang berbentuk segitiga sampai bulat. Berbiji satu dan kecoklatan.
Ekologi
Tumbuh mengelompok secara lokal di hutan hujan agak kering sampai pada ketinggian 1200 m di atas permukaan laut.
Pembudidayaan
Pohon Kenari banyak ditanam terutama sebagai tanaman peneduh di pinggir jalan. Perbanyakan yang umumnya dilakukan dengan cara mengecambahkan bijinya.
Musim berbunga dan berbuah
Musim berbunga dan berbuahnya sepanjang tahun.

 
Gayam Identitas Flora Kota Cirebon 
GAYAM (Inocarpus fagiferus (Parkinson) Fosberg)
Nama lain : Bosua
Suku : Papilionaceae
 Latar Belakang
Gayam merupakan tanaman yang berasal dari kawasan Malesia bagian timur khusus-nya dari Indonesia. Tanaman ini dibawa oleh imigran-imi-gran dari Malaya-Polenisia ke Mikronesia, Melanesia dan Polenisia. Pohon Gayam telah tersebar luas dan ditanam di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Semenanjung Malaya.
Populasi pohon Gayam khu-susnya di Jawa mengalami pe-nurunan dari tahun ketahun. Hal ini antara lain karena po-pularitas pohon Gayam telah tersaingi oleh berbagai jenis tanaman buah-buahan lainnya yang dianggap mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi. Pohon Gayam yang bertajuk rindang ini sangat bagus sebagai tanaman peneduh. Sedangkan buahnya. yang mendekati masak apabila direbus atau dibakar maka enak dimakan. Kayunya yang keras dapat dimanfaatkan untuk pembuatan tempat tidur.
Untuk melestarikan keberadaan pohon Gayam maka pemerintah daerah Kota Cirebon memilih pohon Gayam sebagai flora identitas daerahnya.
Pertelaan
Pohon mencapai tinggi 30 m dengan garis tengah batang 65 cm. Batang sering kali beralur tidak teratur, kadang-kadang juga ber-banir, percabangan merunduk, kulit batang bagian dalam menge-luarkan cairan merah. Daun berseling, tunggal, kaku menyerupai kulit, melonjong, berdaun penumpu kecil, daun muda berwarna pink. Perbungaan di ketiak, bulir, panjang perbungaan sampai 17 cm, bunga kecil dan berbau wangi. Tabung kelopak dengan 2 – 5 gigi-gigi, daun mahkota 5 dan berwarna kekuningan, benang sari 10. Buah polong dengan 1 biji, gepeng, mengginjal dan tidak pecah. Biji mencapai panjang 8 cm, kulit biji keras dengan endosperm putih.


Ekologi
Gayam di habitat alaminya tumbuh di daerah yang berawa-rawa atau di paya-paya dan di pinggir-pinggir sungai. Buah bisa mengapung lebih dari satu bulan di atas air laut tetapi viabilitas biji cepat hilang. Tumbuh mulai dari ketinggian 0 sampai 500 m di atas permukaan laut.
Pembudidayaan
Tanaman Gayam biasanya dibudidayakan di pekarangan ataupun di kebun-kebun. Perbanyakan tanaman dilakukan dengan cara menge-cambahkan bijinya. Pohon mulai berbuah sekitar umur 8 tahun.
Musim berbunga
Di Jawa, musim berbunganya pada bulan Januari sampai Juni atau September.  
 
Manggis Identitas Flora Kota Depok 
MANGGIS DEPOK (Garcinia mangostana L. cultivar ‘Depok’)
Nama lain : Manggis
Suku : Guttiferae (Clusiaceae)
Latar Belakang
Cita rasa buah Manggis yang manis sedikit asam banyak digemari oleh masyarakat luas. Bahkan buah Mang-gis telah mendapat sebutan sebagai “Ratu buah” (Queen of fruits). Ta-naman Manggis kemungkinan berasal dari Semenanjung Malaysia. Di Indo-nesia, tanaman Manggis dapat dite-mukan dan tumbuh secara liar di hutan-hutan di Sumatera dan Kaliman-tan. Saat ini tanaman Manggis telah ditanam hampir di seluruh daerah tro-pis mulai dari India Selatan, Asia Tenggara, Queensland, Amerika Tengah dan Brazil. Selain buahnya yang enak dimakan, kulit buah Manggis juga dapat digunakan untuk menyamak kulit dan bahan pewarna hitam. Kayunya yang ke-merahan dapat dimanfaatkan untuk bahan alat pertukangan.
Buah Manggis merupakan salah satu komoditas buah-buahan Indonesia yang bernilai ekonomi cukup tinggi dan telah dieksport ke luar negeri antara lain ke Eropa. Kota Depok merupakan salah satu sentra penghasil buah Manggis di Indonesia dan khususnya di Jawa Barat. Oleh karena itu pemerintah Kota Depok telah memilih dan menetapkan Manggis sebagai flora identitasnya yang dirumuskan dengan SK. Walikota Depok No.660.1/30/Kpts/huk/2000 tanggal 14 Maret 2000. Tujuannya untuk lebih meningkatkan usaha pem-budidayaan dan pengembangan buah Manggis di Jawa Barat khususnya di Kota Depok. 
Pertelaan
Pohon berumah dua, tinggi mencapai 25 m, berbatang lurus dan bertajuk menyerupai kerucut. Semua bagian tanaman mengelurkan getah kuning apabila dilukai. Daun berhadapan, lonjong atau jorong, kaku menyerupai kulit, permukaan atas lokos dan hijau terang sedang permukaan bawah hijau kekuningan. Bunga tunggal atau berpasangan di ujung-ujung percabangan; berdaun kelopak 4 yang tersusun dalam 2 pasang; daun mahkota 4, tebal dan berdaging, hijau kekuningan dengan pinggir kemerahan; staminodium banyak. Buah bani membulat, apabila masak ungu gelap, kelopak masih tetap menempel pada buah. Berbiji sampai 3, setiap biji dibungkus oleh aril yang putih.
Ekologi
Manggis sangat cocok tumbuh di daerah dengan kelembaban dan suhu udara yang tinggi terutama di daerah-daerah dataran rendah. Pohon Manggis dapat tumbuh sampai pada ketinggian 1000 m di atas permukaan laut. Musim kering yang pendek merangsang perbungaan Manggis.
Pembudidayaan
Tanaman manggis telah dibudidayakan secara luas di pekarangan atau di kebun-kebun. Perbanyakan tanaman umumnya dengan me-ngecambahkan bijinya. Namun dapat pula dengan cara enten.
Musim berbuah
Di Thailand musim buah Manggis terjadi pada bulan Mei sampai Juli sedangkan di Semenanjung Malaysia mulai bulan Juni sampai Agustus.

 
Pala Flora Identitas Kota Sukabumi 
PALA (Myristica fragrans Houtt.)
Nama lain : Pala Banda
Suku : Myristicaceae
Latar Belakang
Pala merupakan tumbuhan asli Indonesia yang berasal dari pulau-pulau di Maluku bagian selatan khususnya di Banda dan Ambon. Oleh ka-rena itu tanaman ini dikenal dengan nama Pala Banda. Buah Pala merupakan salah satu komoditas perdagangan rempah-rempah utama di Indonesia sejak nenek mo-yang kita. Pada akhir abad XII, tanaman Pala mulai di-kenal di Eropa dan saat ini telah tersebar luas di kawas-an Asia Tenggara. Di sam-ping sebagai bahan rempah-rempah dan industri mi-numan, tanaman Pala juga menghasilkan minyak pala yang penting untuk industri kosmetika. Oleh karena itu Pala merupakan salah satu komoditas perdagangan yang bernilai ekonomi cukup tinggi. 
Tanaman Pala banyak ditanam di pekarangan-pekarangan rumah maupun di kebun-kebun di daerah Sukabumi. Masyarakat meman-faatkan buah Pala untuk dibuat asinan ataupun manisan sedang bijinya sebagai bumbu masak. Dengan dipilihnya tanaman Pala se-bagai flora identitas Kota Sukabumi maka diharapkan dapat mem-berikan tambahan penghasilan bagi penduduk maupun pemerintah daerahnya.
Pertelaan
Pohon berumah dua, tinggi mencapai 13- 20 m. Daun berseling, tunggal, berbentuk lonjong – lanset dan berbau aromatik apabila diremas. Perbungaan diketiak, berbentuk payung terbatas. Bunga jantan dengan banyak bunga, pedisel ramping, benang sari 8 – 12. Bunga betina dengan 1 – 3 bunga, bakal buah menumpang. Buah beri atau pelok, berdaging, kekuningan, pecah kedalam 2 sekat bila telah masak. Berbiji tunggal, bulat telur, coklat tua dan keras menyerupai batu.


Ekologi
Pala tumbuh baik di daerah beriklim tropis yang lembab, suhu rata-rata 25 – 30◦ C dan curah hujan rata-rata 2000 – 3500 mm per tahun tanpa periode kering yang nyata. Tumbuh pada ketinggian dibawah 700 m di atas permukaan laut. Cocok di daerah vulkanik dengan kandungan bahan organik yang tinggi, pH tanah 6,5 – 7,5.
Budidaya 
Tanaman Pala merupakan tanaman budidaya dan umumnya ditanam di pekarangan atau di kebun-kebun. Perbanyakan tanaman biasanya dilakukan dengan cara mengecambahkan bijinya. Biji Pala mulai berkecambah setelah 4 – 6 minggu dari mulainya penanaman biji. Pada umur sekitar 6 tahun, tanaman Pala mulai berbunga.
Musim berbunga dan berbuah
Musim berbunga dan berbuahnya sepanjang tahun.



selengkapnya >>

penangkaran kakatua

I. PENDAHULUAN

Keberadaan satwa burung di Indonesia semakin hari semakin menurun. Hal ini terjadi karena adanya perburuan liar sehubungan dengan meningkatnya permintaan pasar. Selain itu, penurunan kualitas habitat sebagai akibat dari aktivitas manusia, lemahnya pengamanan, pengawasan, penerapan sanksi hukum, serta rendahnya kesadaran masyarakat tentang konservasi, juga turut mengakibatkan penurunan populasi burung di alam. Walaupun telah berstatus dilindungi (termasuk oleh pemerintah daerah di mana habitat dan jenis burung berada), namun perburuan liar masih tetap berjalan hingga saat ini.

Banyak jenis burung di Indonesia (termasuk dari biogeografi Sumatera) yang memiliki nilai komersial yang cukup tinggi. Sebagian di antaranya juga termasuk burung-burung endemik (hanya hidup di daerah setempat), atau dapat pula burung daerah sebaran terbatas, sehingga gangguan kelestariannya dapat menyebabkan kelangkaan. Potensi keindahan morfologis, keunikan tingkah laku dan kemerduan suara, merupakan daya tarik burung yang menyebabkan perburuannya sering dilakukan terutama untuk kesenangan (hobiis). Selain itu, di beberapa daerah, satwa burung banyak pula yang diburu untuk dijadikan sebagai makanan (sumber protein hewani). Dengan demikian, keberadaan satwa burung tersebut semakin hari semakin berkurang populasinya, bahkan dikhawatirkan berkurang pula ragam jenisnya.

Oleh karena itu, guna menjaga eksistensi sekaligus memulihkan populasi burung di Indonesia, perlu dilakukan kegiatan konservasi. Konservasi burung dapat dilakukan secara in-situ (di dalam habitat alaminya); seperti melalui perlindungan jenis, pembinaan habitat dan populasi; dan secara ex-situ (di luar habitat alaminya), salah satu diantaranya melalui penangkaran. Kegiatan penangkaran burung tidak hanya sekedar untuk kegiatan konservasi jenis dan peningkatan populasi, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk pendidikan, penelitian dan pengembangan wisata. Hasil penangkaran dapat dilepas-liarkan ke habitat alam (sesuai dengan syarat-syarat dan peraturan yang berlaku), serta sebagian dapat dimanfaatkan untuk tujuan komersial, terutama mulai dari hasil keturunan ke dua (F2). Dalam rangka mendukung upaya konservasi burung, khususnya melalui penangkaran, telah dilakukan serangkaian kegiatan penelitian yang berkaitan dengan habitat, perilaku, pakan dan pengelolaan penangkaran berbagai jenis burung di Indonesia. Hasil-hasil penelitian dan kajian tersebut selanjutnya dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan dan pengembangan penangkaran burung oleh pihak-pihak yang berkompeten.

II. DASAR HUKUM DAN KEBIJAKAN

Kegiatan penangkaran burung didasarkan kepada Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, serta PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Kegiatan penangkaran dan koleksi sebagaimana diatur dalam PP 8 Tahun 1999 merupakan bagian dari upaya pemanfaatan jenis flora-fauna liar dengan tujuan agar dapat didayagunakan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemanfaatan jenis flora-fauna liar dilakukan dengan mengendalikan pendaya- gunaan jenis flora-fauna atau bagian-bagiannya serta hasil daripadanya dengan tetap menjaga keanekaragaman jenis dan keseimbangan ekosistem. Selanjutnya, kegiatan penangkaran burung dapat dilakukan di setiap daerah dengan memperhatikan kondisi populasi, habitat, dan tingkat ancaman kepu- nahannya. Kegiatan penangkaran burung sekaligus koleksinya juga merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam pembangunan konservasi sumber daya alam. Hal ini merupakan implikasi dari berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di mana sebelumnya ber- dasarkan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom dan Undang Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang lama, kewenangan konservasi sumber daya alam masih menjadi otoritas Pemerintah Pusat. Undang Undang No. 32 Tahun 2004 mengisyaratkan bahwa perijinan dan pemanfaatan sumber daya alam dilakukan bersama-sama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999, kegiatan koleksi dan penangkaran burung di daerah merupakan bagian dari pengelolaan di luar habitat (ex situ) dengan maksud untuk menyelamatkan sumber daya genetik dan populasi jenis satwa burung. Kegiatan tersebut meliputi pula pemeliharaan, perkembang-biakan, serta penelitian dan pengembangannya. Kegiatan pemeliharaan burung (sebagai bagian dari kekayaan jenis flora- fauna) di luar habitat wajib memenuhi syarat: memenuhi standar kesehatan satwa burung; menyediakan tempat yang cukup luas, aman dan nyaman; serta mempunyai dan mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan. Kegiatan pengembangbiakan jenis satwa burung dilaksanakan untuk pengembangan populasi di alam agar tidak punah. Kegiatan pengembangbiakan jenis di luar habitatnya wajib memenuhi syarat: menjaga kemurnian jenis, menjaga keanekaragaman genetik, melakukan penandaan dan sertifikasi, dan membuat buku daftar silsilah (“studbook”). Sementara itu, kegiatan penelitian dan pengembangan jenis satwa burung di luar habitatnya dilakukan sebagai upaya untuk menunjang tetap terjaganya keadaan genetik dan ketersediaan sumber daya jenis satwa tersebut secara lestari. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui pengkajian terhadap aspek-aspek biologis dan ekologis baik dalam bentuk penelitian dasar, terapan maupun ujicoba.

Pengelolaan penangkaran burung ini harus ditangani oleh suatu lembaga konservasi yang tata cara dan institusinya diatur oleh pemerintah (dalam hal ini oleh Menteri Kehutanan). Lembaga konservasi yang dimaksud dalam PP No. 7 Tahun 1999 ini di antaranya dapat berbentuk: Kebun Binatang, Musium Zoologi, Taman Satwa Khusus, dan Pusat Latihan Satwa Khusus. Lembaga konservasi tersebut memiliki fungsi utama yaitu pengembangbiakan dan atau penyelamatan satwa burung dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Selain mempunyai fungsi utama tersebut, lembaga konservasi juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, peragaan dan penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan.

Dalam rangka menjalankan fungsinya, lembaga konservasi dapat memperoleh satwa burung, baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi, melalui: pengambilan atau penangkaran dari alam; hasil sitaan; tukar menukar; atau pembelian untuk jenis-jenis yang tidak dilindungi.

Sementara itu, kegiatan koleksi satwa burung (termasuk pula flora-fauna lainnya) untuk tujuan peragaan sebagaimana diatur dalam PP 8 Tahun 1999, selain oleh lembaga konservasi, juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan formal. Peragaan yang dilakukan oleh orang atau badan di luar lembaga yang disebutkan sebelumnya harus dengan izin Menteri Kehutanan.

Burung Kakatua Kecil Jambul Kuning termasuk satwa liar yang dilindungi undang-undang, sebagaimana tertuang dalam Lampiran PP No. 7 Tahun 1999, dan ada kententuan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 bahwa:

1. Barangsiapa dengan Sengaja menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; (Pasal 21 ayat (2) huruf a), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));

2. Barang Siapa Dengan Sengaja menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati (Pasal 21 ayat (2) huruf b), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));

3. Dengan Sengaja memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; (Pasal 21 ayat (2) huruf d), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));

III. PERSIAPAN PENANGKARAN BURUNG

Pemeliharaan burung tidak hanya menitik-beratkan pada obyek burung saja, tetapi juga harus mempertimbangkan kesiapan lingkungan. Lingkungan yang dimaksud di sini adalah lingkungan biologi (habitat hidup burung) dan lingkungan fisik (seperti kandang). Kesiapan lingkungan dimaksudkan agar burung- burung yang akan dipelihara dapat beradaptasi dengan baik dan cepat, terutama untuk jenis-jenis yang membutuhkan lindungan.

A. Lingkungan Biologi

Lingkungan pemeliharaan yang sudah terdapat tumbuhan (baik yang ditanam maupun tumbuh alami) dengan populasi, kerapatan dan arsitektur tajuk yang mendekati habitat alami, akan menciptakan iklim mikro dan suasana yang teduh. Umumnya, burung kakatua jambul kuning membutuhkan lingkungan alami agar dapat hidup dan berkembang biak dengan baik. Keberadaan jenis tumbuhan yang secara alami digunakan sebagai sebagai tempat berteduh dan sumber pakan, merupakan lingkungan yang baik bagi burung. Hal ini akan mengundang burung-burung liar lainnya untuk datang dan menimbulkan suasana alami yang akan memudahkan adaptasi burung-burung yang akan dipelihara.

Beberapa karakteristik tumbuhan yang cocok dan dapat dipelihara untuk menyiapkan lingkungan alami adalah:

- buahnya dapat dijadikan sumber pakan burung

- berbuah sepanjang tahun

- memiliki percabangan horisontal

- tajuk tidak harus selalu tinggi dan juga tidak harus selalu lebat (terutama untuk pengaturan cahaya matahari) dan

- bukan jenis tumbuhan berduri tajam, mengeluarkan getah lengket, atau beracun.

Jenis-jenis tumbuhan yang yang dibutuhkan untuk lingkungan burung kakatua jambul kuning adalah jenis tumbuhan yang memuliki buah seperti biji-bijian, kacang dan aneka buah-buahan.

Posisi atau tata letak tumbuhan tersebut dapat disesuaikan dengan rencana pembangunan kandang dan sarana pendukung lainnya (seperti unit karantina, laboratorium dan klinik). Selain itu, tata letak dapat disesuaikan pula dengan faktor estetika (keindahan) suatu penangkaran yang juga berfungsi sebagai taman. Kepadatan tumbuhan diatur sedemikian rupa agar cahaya matahari tidak banyak terhalang. Sebaiknya tata letak juga diatur dengan cara (setidaknya) satu individu tumbuhan dapat menaungi satu unit kandang, sehingga suasana iklim mikro setempat tidak terlalu panas.

B. Lingkungan Fisik

Setelah persiapan lingkungan biologi dilakukan, maka pembangunan fisik kandang burung dan sarana pendukung lainnya dapat dilaksanakan.

Persiapan lingkungan biologi dapat pula dilakukan bersamaan dengan lingkungan fisiknya. Namun demikian, penempatan burung ke dalam kandang tidak boleh dilakukan bersamaan karena belum siapnya lingkungan buatan yang akan menjadi bagian habitat hidup burung. Demikian pula bila kandang terlalu lama disiapkan sebelum masuknya burung, maka dikhawatirkan kondisi kandang sudah mulai rusak (seperti berkarat, robek atau putus kawatnya).

Untuk mengatasi hal tersebut, jenis bahan kandang harus tahan karat dan tidak mudah putus. Kawat ram harus kuat, berdiameter lebih dari 2 mm, dan ukuran diameter lubang ram tidak lebih besar dari ukuran burung kakatua jambul kuning. Selain itu, pemeliharaan kandang harus dilakukan secara rutin dan seksama walaupun belum ada burungnya. Beberapa hal yang harus dilakukan secara periodik diantaranya adalah membersihkan serasah daun yang menempel di kawat, memotong cabang atau ranting pohon yang dikhawatirkan akan menembus lubang kawat.

Bentuk dan ukuran kandang disesuaikan dengan jenis burung yang akan dipelihara (termasuk karakteristik biologisnya), jumlah burung, ketersediaan lahan dan dana yang tersedia. Demikian pula dengan bahan kandang yang akan digunakan, sebaiknya dipilih dari jenis yang tahan lama (awet), mudah dan murah biaya pemeliharaannya. Bentuk, ukuran dan penempatan kandang disesuaikan berdasarkan peruntukannya.

1. Pemilihan Lokasi Kandang

Kegiatan pemeliharaan burung untuk tujuan penangkaran berbeda dengan untuk koleksi dan display. Oleh sebab itu, lokasi kandang penangkaran (yang arealnya juga merangkap untuk kegiatan wisata), ditempatkan terpisah dari lokasi kandang koleksi dan display. Penangkaran burung sebagai upaya pengembangbiakan jenis di luar habitat alaminya membutuhkan suasana habitat buatan yang mirip dengan habitat alaminya. Untuk mendapatkan kondisi seperti habitat alami, maka beberapa persyaratan yang harus diperhatikan dalam memilih lokasi penangkaran burung adalah:

Berada pada tempat yang bebas banjir pada musim hujan

Jauh dari keramaian dan kebisingan

Berada pada tempat yang mudah diawasi dan mudah dicapai

Tidak terganggu oleh polusi udara (debu, asap, bau gas)

Tidak berada pada tempat yang lembab, becek, dan tergenang air, karena akan menimbulkan penyakit

Di sekitar lokasi penangkaran hendaknya terdapat atau ditanami pohon-pohon pelindung agar suasana menjadi lebih sejuk dan burung merasa seperti berada pada habitat alam,

Terisolasi dari pengaruh binatang lain

Tersedia air yang cukup untuk minum dan mandi burung serta pembersihan kandang

Mudah mendapatkan pakan dan tidak bersaing dengan manusia.

2. Bentuk dan Ukuran Kandang

Kebutuhan kandang untuk kegiatan penangkaran hampir sama dengan yang ditujukan untuk koleksi dan display, serta pendidikan dan penelitian. Kandang burung dapat dibuat dengan sistem individu (satu kelompok reproduksi dari jenis yang sama dalam satu kandang yang terpisah); sistem kompartemen (satu kelompok reproduksi dari jenis yang sama dalam satu kandang yang bersisian paralel dengan kandang lainnya); atau sistem komunal atau koloni (beberapa kelompok reproduksi dari jenis yang sama atau berbeda dalam satu sangkar besar). Pada sistem komunal, dapat dilakukan penggabungan berbagai jenis burung tetapi tidak dilakukan pencampuran dengan jenis predator atau kompetitor agresif. Jenis predator dan kompetitor masing-masing dapat dimasukkan ke dalam kandang individu yang terpisah. Selanjutnya ukuran satu unit kandang individu maupun kompartemen disesuaikan dengan ukuran burung yang akan dipelihara. Ukuran yang umumnya dibuat adalah 3 m x 3 m , dengan tinggi minimal 3 m. Namun demikian, untuk kelompok reproduksi yang menganut pola monogami (satu pasangan jantan dan betina), ukuran kandang untuk berkembang biak dapat lebih kecil. Bentuk dan ukuran kandang disesuaikan dengan jenis yang akan dipelihara atau ditangkarkan. Sebaiknya kandang dibuat lebih terlindung antara lain dilakukan dengan cara melapisi setiap sisi kandang dengan shading net. Hal ini dimaksudkan agar burung tidak terpengaruh lingkungan luar yang dapat menghambat proses perkembang-biakan burung. Selain itu, pada setiap unit kandang penangkaran sebaiknya dibagi menjadi dua ruang dengan sekat atau pintu yang dapat dibuka-tutup dengan mudah (misalnya dengan sistem geser). Masing-masing ruang kandang diharapkan dapat berfungsi sebagai ruang adaptasi (perkenalan) dan untuk perkawinan atau berkembang biak. Seluruh model kandang sebaiknya memiliki atap lengkung atau miring (satu arah atau dua arah). Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi akumulasi serasah daun dari luar kandang yang dapat menyebabkan kawat ram berkarat dan robek. Di dalam kandang disediakan tempat bertengger, tempat makan yang terlindung, dan sumber air untuk minum dan mandi (dapat berupa wadah, kolam, maupun air yang mengalir). Kandang yang berukuran besar dapat ditanam pohon peneduh (terutama penghasil pakan buah). Kandang juga harus dibuatkan pintu berlapis untuk menghindari burung lepas bila perawat burung atau pengamat masuk ke dalam kandang. Pemacuan perkembangbiakan burung dapat dilakukan dengan menyediakan bahan sarang atau kotak sarang yang akan dipilih oleh burung untuk bersarang.

3. Jenis dan Peruntukan Kandang

Jenis kandang penangkaran burung kakatua jambul kuning yang dibutuhkan adalah kandang koloni, kandang perkembangbiakan, kandang pemeliharaan, kandang penyapihan dan kandang karantina. Semua jenis kandang dilengkapi dengan tempat makan dan minum, serta untuk bertengger.

Kandang koloni digunakan untuk menempatkan beberapa pasang burung baik burung yang telah dewasa dan siap kawin maupun burung yang baru lepas sapih, memberikan kesempatan pada burung guna memilih pasangan/jodoh secara alami, memudahkan proses penjodohan, menjadikan tempat bermain (playing ground) dan pemeliharaan burung.

Kandang perkembangbiakan berfungsi sebagai tempat burung untuk bertelur, mengeram, menetaskan dan mengasuh piyik. Tiap petak digunakan untuk menempatkan satu pasang induk burung. Kandang ini juga dilengkapi dengan sarang untuk bertelur (bentuk dan bahan sesuai dengan jenis burung dan perilaku reproduksinya). Jenis burung paruh bengkok dan beberapa jenis burung lainnya dapat berbentuk kotak (nest-box) yang terbuat dari papan atau batang kayu.

Kandang penyapihan digunakan untuk menempatkan anak burung (piyik) yang baru disapih. Kandang dapat dibuat secara khusus atau dapat memanfaatkan kandang pemeliharaan yang masih kosong. Kandang karantina digunakan untuk menempatkan burung-burung yang baru datang (dari habitat alam) atau burung-burung yang sakit. Kandang ini dapat pula berfungsi sebagai tempat adaptasi terhadap lingkungan yang baru.

Selain kandang burung, sarana pendukung lain yang perlu disiapkan adalah laboratorium dan klinik, gudang makanan dan obat-obatan, serta gudang perlengkapan. Sarana pendukung ini dapat dibangun di dekat areal terlindung utama, maupun di luar areal tersebut. Namun demikian, penempatan sarana pendukung ini sebaiknya tidak dekat dengan tempat tinggal umum, sarana atau fasilitas umum lainnya, atau tempat yang banyak dikunjungi manusia (pengunjung dan bukan pengunjung). Hal ini dimaksudkan untuk menghindari stres bagi burung, serta mengeliminasi kontaminasi atau sebaran penyakit dari/ke luar lingkungan.

IV. PEMELIHARAAN BURUNG

A. Pemberian Pakan

1. Jenis Pakan

Pakan dibutuhkan untuk hidup, tumbuh dan berkembang biak burung. Oleh karena itu, pakan harus selalu tersedia secara terus menerus dalam kuantitas dan kualitas yang cukup. Jenis-jenis pakan yang diberikan hendaknya memperhatikan kesukaan burung sebagaimana biasanya di alam, disamping pertimbangan kualitas, harga, dan ketersediaannya. Namun demikian, jenis pakan yang terbaik adalah: kacang tanah, kacang panjang, kangkung, wortel, jambu biji, kelapa muda, lobi-lobi, menteng, buni, roti tawar, kedondong, jagung tongkol dan pisang. Telur puyuh diberikan setiap minggu sekali. Pemberian pakan dan air minum tak terbatas. Pertumbuhan bulu juga diamati. Selain itu perilaku burung ini juga diamati.

2. Cara Pemberian Pakan

Kualitas dan kuantitas pakan yang dibutuhkan satwa burung umumnya bervariasi menurut jenis kelamin, umur, status fisiologi dan musim. Dalam kaitan dengan status fisiologi burung, cara-cara pemberian pakan harus dibedakan, sebagai berikut :

a. Pemberian pakan pada burung dewasa

Pakan yang diberikan sebaiknya mengandung komposisi yang terdiri dari biji- bijian, buah-buahan. Komposisi jenis pakan ini sebaiknya selalu berubah untuk menghindari kebosanan yang dialami burung. Bahan pakan dari buah-buahan dan diberikan dalam bentuk potongan-potongan kecil dan ditempatkan pada wadah yang telah disediakan. Pakan diberikan dua kali sehari dalam jumlah cukup.

b. Pemberian pakan pada piyik yang dipelihara induknya

Bahan pakan untuk piyik diberikan dalam bentuk potongan-potongan kecil dan selalu dalam keadaan lunak menggunakan jagung hendaknya dipilih jagung muda yang diparut terlebih dahulu, sedangkan pemberian biji-bijian lainnya sebaiknya direbus sampai lunak. Pakan diletakan pada piring kaleng di luar nest-box tetapi masih berada dalam kandang pemeliharaan. Penyuapan pakan pada piyik yang belum bisa makan sendiri dilakukan oleh induk burung yang mengasuhnya.

c. Pemberian pakan pada piyik yang dipelihara melalui Hand Rearing

Pakan bagi piyik yang dipelihara bukan oleh induknya tetapi dengan bantuan petugas perawat (hand rearing) disajikan dalam bentuk yang halus. Tingkat kehalusan ini disesuaikan dengan perubahan umur sesuai perjalanan waktu. Penyuapan pakan kepada piyik harus dilakukan secara sabar dan hati-hati.

Selain diberikan pakan segar, anak burung juga dapat diberikan aneka bubur buah dan susu siap saji yang banyak dijual di toko-toko. Penyuapan pakan bubur ini dapat menggunakan alat bantu alat suntik yang diganti jarumnya dengan karet pentil sepeda. Di samping itu, baik pada burung dewasa maupun piyik selalu diberikan vitamin dan mineral terutama pada saat pergantian cuaca atau musim untuk mengurangi cekaman (stress).

B. Pengaturan Reproduksi

Beberapa parameter reproduksi burung di penangkaran diantaranya adalah: waktu pertama kali mulai bertelur, jumlah telur dan interval peneluran, masa pengeraman telur, interval penetasan, berat telur, berat lahir piyik dan berat piyik tiap bulan.

Beberapa aspek reproduksi yang penting untuk diperhatikan dalam penangkaran antara lain adalah penentuan jenis kelamin, pemilihan induk, penjodohan, perlakuan terhadap proses peneluran, pengeraman dan penetasan, serta pembesaran piyik.

1. Penentuan Jenis Kelamin

Penentuan jenis kelamin burung dapat dilakukan dengan membedakan warna bulu, paruh, suara, ukuran, tingkah laku dan sebagainya. Penentuan jenis kelamin burung pada jenis-jenis dimorfis (jantan dan betina dapat dibedakan dari warna bulu) akan lebih mudah daripada jenis- jenis monomorfis (jantan dan betina sulit dibedakan dari warna bulu). Umumnya pada jenis dimorfis, warna jantan lebih terang dan indah, atau memiliki bulu ornamen (tambahan) dibandingkan pada jenis burung betina. Burung jantan pada jenis monomorfis biasanya berukuran lebih besar, baik keseluruhan tubuhnya atau beberapa bagian anggota tubuhnya (seperti paruh atau kakinya).

2. Pemilihan Induk

Berdasarkan pengalaman, burung yang baik untuk dijadikan induk dalam penangkaran adalah yang berumur 2-3 tahun. Pada umur ini burung telah dewasa dan telah masak kelamin, serta penampilan fisiknyapun telah utuh. Selanjutnya, burung yang akan menjadi induk dalam penangkaran haruslah sehat, tidak cacat dan tidak menderita penyakit. Penangkaran untuk tujuan konservasi jenis (bukan komersial sebagai hewan kesayangan atau bahkan konsumsi), asal-usul induk harus jelas dan bukan merupakan hasil silangan. Oleh sebab itu, dalam penangkaran perlu dibuat catatan silsilah, terutama untuk memelihara kemurnian genetik dan pengayaan genetik unggul. Hal ini berguna bagi burung untuk tetap eksis di habitat alam dan mampu mengatasi seleksi alam.

3. Penjodohan

Penjodohan burung dapat dilakukan dengan cara paksa dan secara alami. Penjodohan secara paksa dilakukan dengan memasukkan pasangan-pasangan burung menurut kemauan penangkar dalam suatu kandang perkembangbiakan. Penjodohan secara alami dilakukan dengan cara memasukkan pasangan burung yang terbentuk sesuai dengan pilihannya ke dalam kandang perkembangbiakan yang tersedia. Berdasarkan pengalaman yang ada, penjodohan secara paksa kurang menguntungkan. Apabila induk yang dipasangkan tidak sesuai, pasangan burung akan sering berkelahi sehingga proses perkawinan yang diharapkan akan lambat dan bahkan sering tidak terjadi. Oleh karena itu lebih baik melakukan penjodohan secara alami.

Langkah awal yang perlu dilakukan untuk penjodohan secara alami adalah mengidentifikasi pasangan-pasangan burung yang terjadi sebagai hasil proses pemilihan sendiri oleh burung, pada kandang koloni. Pasangan-pasangan alami ini dapat diketahui dari perilaku burung yang selalu bercumbu dan saling menyelisik. Pasangan burung demikian kemudian dimasukkan ke dalam kandang perkembangbiakan yang telah disediakan.

4. Peneluran, Pengeraman dan Penetasan

Pada pola monogami, burung jantan selalu menjaga sang betina bertelur sampai proses pengeraman dan penetasan hingga anaknya disapih. Selama masa bertelur, mengeram, menetas dan membesarkan piyiknya, biasanya burung betina tidak meninggalkan sarang. Pakan untuk induk betina atau untuk piyik, diberikan oleh induk jantan. Pakan biasanya diberikan kepada betina hanya sampai pada ambang pintu nesting-box (lubang untuk keluar masuknya burung). Telur yang tidak dibuahi atau infertile akan dipecahkan oleh induk betina dan 1-2 bulan kemudian ia akan kembali bertelur. Demikian pula apabila induk betina telah menghasilkan piyik kemudian piyik tersebut mati, sebulan kemudian ia akan bertelur kembali.

5. Pembesaran Anak Burung (Piyik)

Penanganan anak burung atau piyik dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu dengan penanganan secara alami dan hand rearing. Penanganan secara alami adalah proses penanganan dengan membiarkan piyik dipelihara oleh induknya, sedangkan hand rearing adalah proses penanganan piyik dengan cara memisahkan atau mengambil burung dari induknya untuk kemudian dipelihara dan dibesarkan oleh penangkar secara lebih intensif sampai burung bisa dianggap mandiri.

Pada cara hand rearing, piyik sebaiknya diambil/dipisahkan dari induknya pada saat mata piyik belum terbuka. Selanjutnya piyik dimasukkan ke dalam box yang telah tersedia. Apabila kondisi piyik telah dianggap cukup kuat, pemeliharaan piyik selanjutnya dipindahkan pada sangkar burung.

Berdasarkan pengalaman, pemeliharaan piyik melalui hand rearing memberi keuntungan apabila ditinjau dari aspek reproduksi. Adanya pemisahan anak burung dari induknya dapat memberikan kesempatan kepada induk betina untuk lebih cepat bertelur kembali. Umumnya induk betina akan bertelur kembali pada 2- 3 minggu setelah pemisahan. Di samping itu, persen hidup piyik yang dipelihara dengan cara ini lebih tinggi dibandingkan apabila piyik dipelihara secara alami oleh induknya.

Walaupun memberikan kemungkinan keberhasilan hidup anak piyik yang lebih tinggi, hand rearing membutuhkan waktu cukup banyak dan ketelatenan, sehingga kurang praktis terutama apabila kegiatan penangkaran melibatkan pasangan burung dalam jumlah relatif banyak. Oleh karena itu, sebaiknya piyik- piyik dibiarkan dipelihara oleh induknya secara alami. Keberhasilan hidup piyik yang dipelihara induknya secara alami dapat ditingkatkan dengan bertambah-nya pengalaman penangkar dalam menangani piyik yang dipelihara induknya. Hand rearing dapat dipertimbangkan untuk diterapkan apabila kondisi lingkungan tidak mendukung kelangsungan hidup dan pertumbuhan piyik seperti:

a. Pada piyik yang dihasilkan oleh induk burung yang baru pertama kali menghasilkan piyik, mengingat pada kondisi ini induk burung belum berpengalaman memelihara anaknya dan cenderung mematuk piyik yang ditetaskannya.

b. Apabila induk burung dalam keadaan sakit atau mati.

C. Perawatan Kandang dan Burung

1. Perawatan Kandang

Kebersihan kandang beserta kelengkapannya perlu diperhatikan karena akan berhubungan dengan kesehatan burung. Kandang yang terjaga kebersihannya cenderung dapat menghindarkan burung dari penyakit, sementara kandang yang terlihat kotor akan memudahkan timbulnya serangan berbagai penyakit. Kotoran pada kandang dapat bersumber dari sisa pakan, faeces burung, sampah atau debu. Kotoran ini sering menumpuk pada alas kandang, lantai kandang, atau melekat pada tenggeran. Oleh karena itu, dalam pembersihan, bagian-bagian ini perlu mendapat perhatian.

Tindakan yang diperlukan untuk menjaga kebersihan kandang, antara lain, adalah:

a. Mengeruk, menyikat dan menyapu kotoran yang melekat pada bagian-bagian kandang untuk dibuang pada tempat pembuangan yang telah disiapkan.

b. Menyemprot atau menyiram dengan air pada bagian kandang yang telah dibersihkan secara rutin dua kali sehari .

c. Menyemprot kandang dengan desinfektan secara reguler 1 bulan sekali.

2. Perawatan Burung

Pada bagian-bagian tubuh burung seperti paruh, bulu sayap, ataupun telapak kaki, sering melekat kotoran baik bersumber dari pakan, debu, atau kotoran lain. Selain itu, kadang-kadang beberapa burung terluka akibat aktivitasnya. Agar kotoran yang melekat tidak menjadi sumber penyakit dan luka burung tidak menjadi infeksi atau bertambah parah, burung-burung dalam penangkaran perlu mendapat perawatan dan pemeliharaan.

Tindakan perawatan burung yang perlu dilakukan, antara lain, adalah:

a. Membersihkan bagian-bagian tubuh yang kotor, kemudian menyiram atau memandikannya dengan menggunakan semprotan air. Kegiatan ini sebaiknya dilakukan tiap hari dan waktu memandikan burung sebaiknya dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 09.00 agar burung dapat mengeringkan tubuhnya yang basah dengan cara berjemur.

b. Mengobati bagian tubuh burung yang terluka dengan menggunakan obat luka.

3. Penandaan (tagging)

Pemberian tanda (tagging) diperlukan untuk mengetahui silsilah, umur, nama pemilik penangkaran, memudahkan dalam pemberian pakan dan pengontrolan, serta sebagai tanda bahwa burung tersebut adalah burung hasil penangkaran. Pemberian tanda pada burung dapat dilakukan dengan menggunakan cincin alluminium yang anti karat berbentuk bulat yang biasa dijual di toko. Pemasangan cincin dilakukan pada kaki kiri karena kaki kiri sering dipakai untuk bertumpu sedangkan kaki kanan dipakai untuk mengambil, memegang atau menjepit pakan. Pemasangan cincin sebaiknya dilakukan pada piyik yang berumur ą 20-30 hari karena pada umur muda tidak akan merusak kakinya. Pemasangan cincin dilakukan dengan cara menyatukan tiga buah jari kaki kemudian cincin dimasukkan dan didorong ke belakang sampai jari kaki pertama pada bagian samping kembali bersatu dengan jari kaki lainnya.

D. Jenis Penyakit dan Pengendaliannya

Burung-burung dalam penangkaran walaupun telah dirawat dengan sebaik- baiknya, kadang-kadang atau masih sering terserang penyakit. Pengenalan jenis- jenis penyakit sangat diperlukan untuk menentukan langkah-langkah pengendaliannya. Jenis-jenis penyakit yang pernah menyerang burung dalam penangkaran adalah Tetelo atau Newcastle Disease (ND), Chronic Respiratory Disease (CRD), Coccidiosis (berak darah), Enteritis (radang usus), Proventriculitis (radang tembolok), Lice (kutu) dan Mycosis (jamur). Selain itu, pada beberapa tahun terakhir, dunia perunggasan (termasuk burung) di Indonesia terjangkit penyakit flu burung (Avian Influenza/AI) yang sangat berbahaya dan bersifat zoonosis (menular dari hewan ke manusia). Beberapa pendapat, meng-khawatirkan kasus ini terjadi pula pada satwa burung, terutama yang sudah dipelihara manusia. Oleh sebab itu, pencegahan dan pengendalian penyakit menjadi hal yang penting dalam kegiatan penangkaran burung.

Pengendalian terhadap penyakit yang menyerang burung di penangkaran dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi gejala-gejala klinis yang ditunjukan burung. Konsultasi dengan dokter hewan sebaiknya dilakukan sehingga dapat dilanjutkan dengan pengobatan atau pencegahan secara intensif.

V. PENGELOLAAN PENANGKARAN

Dalam penangkaran burung, terutama pengadaan dan pemeliharaannya, perlu memperhatikan tatacara dan peraturan yang berlaku. Tatacara pengada-an dan pemeliharaan burung dapat mengacu kepada peraturan yang dikeluarkan Departemen Kehutanan (khususnya untuk regulasi persyaratan dan perijinan) dan Departemen Pertanian (khususnya Karantina Hewan). Sementara itu, untuk memudahkan pemeliharaan burung dapat mengikuti saran-saran Dinas Peternakan setempat, Dokter Hewan, Ahli burung (Ornithologist), Ahli Ekologi (Ecologist) dan sebagainya. Bila belum terdapat prosedur operasional standar (Standar Operational Procedur/SOP) pemelihara-an dan penangkaran burung dari pihak yang berwenang, maka institusi penge-lola juga dapat membuat sendiri SOP tersebut dengan mempertimbangkan peraturan yang ada dan saran-saran para ahli.

Penerapan SOP dalam kegiatan pemeliharaan burung dimaksudkan agar burung yang dipelihara dapat hidup dan berkembang biak dengan baik. Selain itu, manfaat lainnya adalah manusia serta lingkungan tetap sehat dan bersih dari sumber penyakit (terutama yang bersifat zoonosis seperti Flu Burung). SOP meliputi tatacara pengadaan dan pengiriman burung, penerimaan dan karantina burung, adaptasi dan penempatan burung, pengelolaan pakan dan obat-obatan, pengelolaan kebersihan/sanitasi kandang dan lingkungan, pengelolaan kesehatan dan pengendalian penyakit, pengelolaan repoduksi (perkembang biakan) dan pembesaran anak (piyik), serta pengelolaan sistem pencatatan kejadian dan perkembangan burung (recording).

Kegiatan pemeliharaan burung yang dikaitkan dengan koleksi dan display bermanfaat pula dalam meningkatkan nilai wisata. Bentuk-bentuk wisata burung yang dapat ditampilkan antara lain adalah: atraksi burung, celoteh burung, pemberian pakan langsung kepada burung, foto bersama burung, dan sebagainya. Upaya mendapatkan nilai tambah ini harus dilakukan pengelola dengan cara melatih petugas dan burung yang dijadikan obyek peningkatan nilai wisata.

VI. PENUTUP

Kegiatan penangkaran yang berhasil meningkatkan populasi suatu jenis burung akan sangat bermanfaat bagi kelestarian jenis tersebut dan juga jenis lainnya secara tidak langsung. Selain untuk re-stocking ke habitat alam, hasil penangkaran tersebut juga dapat dimanfaatkan sesuai peraturan yang berlaku. Dengan demikian, diharapkan kegiatan perburuan di habitat alam dapat dikurangi dan dihentikan. Sebagai gantinya, pemenuhan permintaan terhadap burung sebagai hewan pelihara (pet) yang terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan budaya masyarakat, akan dapat disuplay dari hasil penangkaran.

selengkapnya >>