Penyebaran Islam dan Keadaan Kehutanan
sudah sejak lama ada perdagangan antara Hindustan dan Indonesia, sehingga kebudayaan Hindu berpengaruh pula atas rakyat Indonesia. Ketika rakyat Inia ada yang memeluk agama islam, maka agama ini pun menyebar dari sana ke Indonesia. Para pedagang Islam dari daerah pantai koromandel dan Malabar yang menetap di kota Pelabuhan Sumatera, Jawa dan pulau lain mengadakan perkawinan dengan masyarakat setempat dan membawa agama islam. Bagi rakyat, memasuki lingkungan kaum muslimin itu berarti kemajuan kemasyarakatan dan kerokhanian. Muncullah kemudian beberapa pemukiman Islam, yang dalam waktu singkat berkuasa dan berkembang menjadi kerajaan Islam. baru pada tahun 1200 perkembangan islam ini dirasakan.
peroses penyebaran agama islam di wilayah indonesia bagian timur tidak berbeda dengan penyebaran dan perkembangan di sumatera dan jawa. pada mulanya juga disebarkan oleh kaum pedagang yang datang membeli rempah-rempah sambil memperkenalkan agama Islam. ketika portugis datang di Maluku (+ abad ke 16), telah ada kerajaan islam di Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Para Raja di sana juga bergelar Sultan. Kesultanan ternate berkembang luas, di sebelah utara hingga Mindanao, di selatan sampai ke Bima (Sumbawa), di timur sampai ke Irian, dan dibarat sampai ke Sulawesi.
Agama Islam menyebar keseluruh wilayah Indonesia, hingga dewasa ini merupakan agama sebagian besar rakyat Indonesia.
Sebagian besar penduduk tinggal di kota, yang merupakan pusat perdagangan, politik dan kebudayaan. Pasar perdagangan terbesar pada awal abad ke 17 adalah Aceh, Banten dan Makassar, dengan jumlah penduduk mendekati 100.000 dalam kota dan kota satelit yang berdampingan. Penduduk selebihnya terpusat di daerah katong pertanian sawah yang intensif. daerah utamanya adalah jantung negara Yogya-Solo, dataran rendah Tegal-Pemalang, Bali, lembah pegunungan di Minangkabau-Tapanuli, dan beberapa dataran rendah Sulawesi Selatan. Daerah selebihnya, bahkan juga di Jawa, masih diliputi hutan Tropik yang dihuni harimau, gajah, kerbau liar dan babi hutan.
setiap orang yang menghadapi berbagai kendala kehidupan sering mencari lahan baru dari hutan belantara, untuk mempertahankan hidupnya itu. Sebenarnya hutan ini berguna sebagai tempat elarian terhadap kekejaman, seperti dapat dilihat pada banyaknya budak sahaya yang lari dan tinggal di daerah pinggiran kota Batavia. tetapi dengan sistem perbudakan itu, tidak dapat dihasilkan masyarakat yang anggotanya duduka sama rendah dan tegak sama tinggi. Masyarakat zaman itu terdiri dari rumah tangga besar patriarkhal (perayahan), tempat pekerjaan tangan dibebankan pada budak sahaya.
masuknya agama Islam telah mendesak agama lain, sehingga sebagia umat hindu di Jawa tengah melarikan diri ke pegunungan Tengger, dan sejak akhir abad ke 15, di pegunungan tinggi itu hutan belantara dibuka untuk dijadikan lahan pertanian (Jasper 1972). Pada waktu itu hal ini tidak menjadi keberatan karena penduduk masih kurang, terlebih lagi karena letaknya di atas zina hutan. Baru ama kemudian, dengan pertumbuhan penduduk dan pembangunan kebun kopi pemerintah, yang kira-kira pada tahun 1900 diubah menjadi lahan pertanian, maka tanah kosong dalam zona hujan di hutan pegunungan.
Menarik juga bahwa hal seperti itu terjadi juga di Banten, yang sebagian penduduknya lari ke daerah pegunungan dan memuka lahan di daerah yang didiami orang Badui sekaran.
Pemukiman baru ini terletak di suatu daerah yang sebenarnya penting untuk dipertahankan sebagai kawasan hutan lindung untuk penyediaan air. Akibat dari penggundulan hutan di daerah lebih parah. Karena itu lalu ada larangan adat untuk membuat sawah. sebab pencetakan sawah cenderung dilakukan dengan membabat hutan, yang berarti akang memperparah keadaan hutan.
Sebaliknya, di daerah lain arela hutan bertambah luas, dan pada abad ke 19 baru mengalah terhadap pembukaan lahan untuk pertanian (pegunungan Dieng di Jawa Tengah, Blambangan di Jwa Timur).
Penyebaran agama Islam di Indonesia berlangsung sangat lacar di dataran rendah sekitar muara sungai dan pantai. Dalam menunaikan ibadah ajaran islam banyak digunakan air, misalnya untuk mensucikan diri dan mengambil wudhu. Suplai air di daerah itu masih baik. Sebaliknya, perkembangan agama Islam tersendat-sendat di daerah semiarid (setengah kering) seperti Nusa Tenggara dan Timor Timur, yang kekurangan air sampai sulit melakukan kewajiban agama. demikian juga di daerah pedalaman yang sumber airnya jauh dari tempat kediaman. Di tempat yang tinggi dengan suhu yang rendah itu orang kurang suka bersentuhan dengan air.
Salah satu wali penyebar Islam memakai gelar Sunan Gunung Jati. menurut Ten Oever (1912) nama ini diberikan karena beliau bertapa di sebuah gunung yang melipti hutan jati, sehingga dapat ditarik kesimpulan, ahwa pohon jati sebelum dirantaukan atau ditanam di situ. Tetapi pendapat lain mengisahkan, bahwa nama wali itu adalah Syec Ibn Maulana, yang bergelar Sunan Gunung Jati karena dikebumikan di desa Gunung Jati, tidak jauh dari ibu kota Cirebon. memang atas perintah Sunan Ampel dari Demak, beliau harus diam di Gunung Jati Sembring dekat Cirebin, Tetapi bukan tidak mungkin, nama jati itu bukan karena pohon jati, tetapi karena terselubung makna dari “jati”, yaitu “sejati” (yang benar), atau “satu-satunya”. Ibunya hanya mau menikah di Mekkah, apabila anak yang dilahirkannya akan menjadi “wali sejati”, yang mengembangkan agama satu-satunya.
dalam peta gunung jati tercantum nama “Blandongan”, tetapi tidak diketahui, apakah ini dulu tempat tinggal para blandong.
Ada sebuah hikayat mengenai Sunan Bonang, mubaligh Islam yang paling terkenal di daerah Tuban, bahwa ketika beliau pada suatu waktu melihat sebuah tunggak jati yang tertua dalam hutan, maka dipakainya ini sebagai motif untuk menghias hulu kerisnya, yang kemudian dicontoh oleh para raja.
Untuk pembangunan Mesjid Demak dipakai kayu jati berukuran besar, yang tumbuh di Donoloyo, di daerah Geduwang dekat Imogiri, yang pada masa itu masih ditumbuhi pohon rimba. Di sana ada dua orang petapa, yaitu kyai Donoloyo dan kyai Sokoboyo. Kyai Sokoboyo ini menanam jati, tetapi tidak seorangpun tahu asal-usul benihnya. Kyai Donoloyo meminta benih kepadanya, tetapi tidak diberi. Beliau menusukan tongkatnya yang berongga kedalam tanah dan tanpa diketahuinya sebuah benih jati masuk kedalamnya. Tiba di rumah, tongkat itu dihujamkannya lagi kedalam tanah, dan keluarlah biji jati itu, yang kemudian tumbuh jadi pohon jati yang besar sekali. pohon ini dianggapnya anugerah Tuhan, dan dinyatakannya sebagai pohon keramat. Inilah pohon jati pertama di hutan Donoloyo, yang terletak dikecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri. ketika para wali pada tahun 1497 berunding mengenai pembangunan mesjid Demak, tampak pohon jati di Donoloyo itu sebagai wangsit. pohon ini dianggap yang terbaik untuk mesjid itu, dan kyai Donoloyo menyetujui penebangan pohon itu.
Ketika ditebang, pohon itu rebah ke arah barat dan pucuknya jatuh dekat desa Patuk, 15 mil dari Donoloyo di kecamatan Ngadirejo. Dari batangnya dapat dibuat 7 buah tonggak (sila) dan dari tatal dan dahan telah berhasil dibuat tonggak yang kedelapan. ukuran pohon ditaksir 7,20 meter (jati warna). pada tunggak bekas tebangan pohon itu tumbuh trubusan yang tingginya 25 meter, dan ukuran kelilingnya 2,30 meter. sekarang tempat itu sudah diberi pagar berlapis delapan.
Di Jawa Tengah banyak nama tempat dirangkaikan dengan kata wono, atau alas, atau soko; ploso, jati, loh, cemara, randu, duren, pandan, wringin, sedangkan kalau dipakai kata “bambu” biasanya disebutkan nama jenisnya.
Berlainan dengan di Jawa Tengah, yang masyarakatnya memakai nama pohon besar untuk nama tempat atau nama gunung, di daerah Priangan digunakan seluruh flora Jawa Barat, termasuk nama herba dan perdu. nama pohon yang banyak dipakai untuk gunung yang tidak begitu tinggi ialah kurai, haroman, saninten.
Sebagai suatu keanehan di daerah Priangan, nama pohon dicantumkan pada gelar Bupati dan pejabat, misalnya Rangga Gempol, Pangeran Gebang. Bagi orang yang mencintainya terbuka lapangan penelitian yang luas untuk memeriksa lebih mendalam pepatah dan pribahasa yang dikaitkan dengan pohon dan hutan. sebagai contoh, “Batang jarak dapat berkembang, sedangkan batang jati mati” atau kalau diterjemahkan secara bebas “orang yang tidak berguna itu berumur panjang”. Seorang budiman yang dihalangi oleh orang-orang yang jahat dapat di-ibaratkan dengan pohon jati yang dirayapi dengan luyung.