BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebijakan pembangunan kehutanan yang selama ini bersifat sentmlistik dianggap oleh beberapa pihak tidak begitu efektif menjaga kawasan hutan. Dengan sistem ini, masyarakat adapt atau lokal kurang dilibatkan dalam pengelolaan hutan yang sesungguhnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan sama sekali dari kehidupan mereka, dan kadangkala mereka justru dirugikan akibat kebijakan yang telah diambil pemerintah secara sepihak.
Keterbatasan yang dimiliki pemerintah seperti kurangnya tenaga lapangan, sarana dan prasarana begitu juga dana, telah menyebabkan pemerintah mengalami kesulitan mengelola sendiri hutan yang sangat luas tersebut (Rahardjo dan Isnaini, 2006). Telah memberikan kesadaran bahwa pembangunan kehutanan harus bertumpu kepada masyarakat khususnya masyarakat adat atau lokal yang selama ini berinteraksi langsung dan menggantungkan hidupnya dari hutan.
Seiring dengan pelaksanaan Otonomi Daerah yang digagas dalam Undang undang Nomor. 22 tahun 1999, telah memberikan semangat desentralisasi yang memberikan kewenangan lebih banyak bagi pemerintah daerah untuk mengelola wilayahnya serta kesadaran Pemerintah akan pentingnya keterlibatan masyarakat adat atau lokal dalam pengelolaan hutan, maka paradigma pengelolaan dan pembangunan kehutanan yang dulu berorientasi pada hutan sebagai penghasil kayu menjadi lebih menempatkan masyarakat adat atau lokal sebagai pelaku utama pengelolaan sumber daya hutan. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa pengelolaan hutan akan lebih baik dan efektif bila melibatkan masyarakat secara sungguh sunggguh (Rahaardjo dan Isnaini, 2006).
Pemerintah Indonesia sendiri telah melakukan beberapa kebijakan dalam melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat, yang salah satunya adalah program Hutan Kemasyarakatan (HKm). Program Hutan Kemasyarakatan ini dilaksanakan dengan cara memanfaatkan hutan lindung yang terlanjur dibuka oleh masyarakat setempat melalui penanaman Tanaman Serba Guna (Multi Purpose Trees Spestes) dan kawasan hutan produksi yang dapat ditanam dengan. tanaman kayu kayuan yang dapat diambil hasilnya dengan berpijak pada peraturan perattum yang telah ditetapkan. Melalui program ini lahan yang semula terbuka bisa tertutup kembali oleh Tanaman Serba Guna (Multi Purpose Trees Spesies) dan masyarakat dapat mengambil manfaat dari hasil Tanaman Serba Guna (Multi Pwpose Trees Spesies) tersebut (Arsyad, I dan S. Rahaijo. , 2004).
Kerusakan hutan yang selama ini selalu dikaitkan kepada masyarakat perambah hutan dan peladang liar dapat dicegah dan ditanggulangi melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam kebijakan dan pengelolaan sumberdaya hutan melalui kegiatan Hutan Kemasyarakatan ini. Dilihat dari keterangan diatas maka perlu adanya kajian ataupun pembahasan masalah yang berhubungan dengan hutan kemasyarakatan baik pengelolaan, manfaat hingga prosesnya seperti apa.
1.2 Tujuan
- Ingin mengetahui pengelolaan Hutan kemasyarakatan di gunung Kidul DI Yogyakarta.
- Ingin mengetahui wahana multipihak hutan kemasyarakatan di gunung Kidul DI Yogyakarta.
- Ingin mengetahui peranan desa dalam hutan kemasyarakatan di gunung Kidul DI Yogyakarta.
1.3 Rumusan Masalah
- Bagaimanakah pengelolaan Hutan kemasyarakatan di gunung Kidul DI Yogyakarta ?
- Seperti apakah wahana multipihak hutan kemasyarakatan di gunung Kidul DI Yogyakarta ?
- Bagaimanakah peranan desa dalam hutan kemasyarakatan di gunung Kidul DI Yogyakarta ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Kemasyarakatan (HKm)
Pemberdayaan masyarakat setempat melalui hutan kemasyarakatan dilakukan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan. Hutan kemasyarakatan dapat diberikan pada :
a). hutan konservasi, kecuali cagar alam, dan zona inti taman nasional;
b). hutan lindung; atau
c). hutan produksi.
Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan pada hutan lindung, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan bukan kayu. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan pada hutan produksi, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu (hasil tanaman) dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
Menteri menetapkan areal kerja hutan kemasyarakatan atas usulan bupati/walikota berdasarkan permohonan masyarakat setempat sesuai rencana pengelolaan yang disusun oleh kepala KPH atau pejabat yang ditunjuk. Berdasarkan penetapan areal kerja :
a). Menteri, memberikan IUPHHK dalam hutan kemasyarakatan pada areal kerja hutan kemasyarakatan,
b). Gubernur, pada areal kerja hutan kemasyarakatan lintas kabupaten/kota yang ada dalam wilayah kewenangannya dan bupati/walikota, pada areal kerja hutan kemasyarakatan yang ada dalam wilayah kewenangannya memberikan izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan.
Izin usaha pemanfaatan hutan diberikan kepada kelompok masyarakat setempat. Sedangkan IUPHHK dalam hutan kemasyarakatan diberikan kepada kelompok masyarakat setempat yang berbentuk koperasi. Gubernur yang dinilai siap secara kelembagaan dapat dilimpahkan oleh Menteri untuk memberikan IUPHHK HKm.
Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan diberikan dengan jangka waktu selama 35 tahun. Kewajiban pemegang izin usaha pemanfaatan HKm adalah melaksanakan pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari.
Sementara kewajiban pemegang IUPHHK dalam HKm adalah:
a). Dikenakan DR;
b). Menyusun rencana kerja IUPHHK dalam HKm selama berlakunya izin;
c). Melaksanakan penataan batas IUPHHK dalam HKm;
d). Melakukan perlindungan hutan; atau
e). Melaksanakan penatausahaan hasil hutan.
Sedangkan, larangannya adalah penggunaan untuk kepentingan lain di luar rencana pengelolaan. Izin usaha pemanfaatan hutan HKm maupun IUPHHK dalam HKm dilarang untuk dipindahtangankan dan diagunkan serta merubah status dan fungsi kawasan hutan.
2.2 Pengelolaan Hutan dan Hutan Kemasyarakatan
Pengeloban Hutan Selama lebih dari tiga dekade, hutan Indonesia telah memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian nasional. Nwnun kondisi hutan Indonesia saat ini begitu memprihatinkan dan sangat berbeda dengan awal pemanfaatannya pada tahun 1970 an. Kondisinya telah memburuk baik secara, kualitas maupun kuantitas sehingga tidak lagi menjadi penopang perekonomian nasional yang kuat (Wardojo, 2004 disitasi oleh Siswanty et.al., 2004). Selama ini, pengelolaan hutan dirasakan belum optimal. Menurut Rahardjo dan Isnaini (2006) keterbatasan yang dimiliki pemerintah seperti kurangnya tenaga lapangan, sarana, prasarana dan dana, telah menyebabkan pemerintah mengalami kesulitan mengelola sendiri hutan yang sangat luas tersebut dan pemerintah juga kurang menempkan pengelolaan kawasan secara partisipatif dan kurang transparan, serta rendahnya aspek akuntabilitas pengelolaan.
Pengelolaan hutan seringkali bersinggungan dengan berbagai kepentingan diantaranya adalah kepentingan masyarakat adat/lokal. Banyak kebijakan yang diambil pemerintah dirasakan kurang berpihak kepada masyarakat khususnya masyarakat di sekitar kawasan hutan dan masyarakat yang telah lama menetap di dalam kawasan hutan tersebut. Hal di atas menyebabkan konflik tidak terelakkan ketika kepentingan antara pemerintah yang berusaha untuk selalu menjaga ftmgsi konservasi hutan dengan masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hutan bersinggungan. Menurut Arsyad dan Rahardjo (2004) kegagalan pengelolaan hutan karena kebijakan yang timpang tindih satu dengan lainnya dan masyarakat lokal yang kurang dan tidak dilibatkan dalam pengelolaan, belum ada kesepakatan cara mengelola hutan dan ketidakielasan kewenangan ditingkat lapangan. Pengelolaan hutan yang sentralistik juga diyakini kurang efektif sehingga harus diubah menjadi desentralistik dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama (Cahyaningsih, at at., 2006). Dan untuk mewujudkan rasa keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan hutan dan menyelesaikan konflik maka pengelolaan kolaboratif merupakan solusi yang diambil Departemen Kehutanan (Anonim, 2004). Sejalan dengan kebijakan Departemen Kehutanan, maka telah dilakukan berbagai pendekatan dalam pengelolaan kawasan hutan. Menurut Arsyad dan Rahardjo. (2004) pengelolaan berbasis multi pihak merupakan sebuah pendekatan yang efektif dalarn pengelolaan sumber daya alam. Salah satu program pemerintah yang pada prinsipnya menerapkan pendekatan berbasis multi pihak tersebut adalah kegiatan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Program ini mulai ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor. 622/Kpts II/1995 tentang Hutan Kemasyarakatan yang kemudian disempumakan lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.37/Menhut MOO7. Pola, HKm ini juga sejalan dengan Kebijakan Departemen Kehutanan periode 2005 2009 yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 456/Menhut VII/2004 yang salah satunya adalah Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di dalam dan di Sekitar Hutan (Anonim, 2005).
2.3 Manfaat Hutan Kemasyarakatan (HKm)
Menurut Cahyaningsih et al. (2006) ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh bagi masyarakat, pemerintah dan terhadap fungsi hutan yaitu:
1. Bagi Masyarakat, HKm dapat: (a) memberikan kepastan akses untuk turut mengelola kawasan hutan, (b) menjadi sumber mata pencarian, (c) ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk rumahtangga dan pertanian terjaga, dan (d) hubungan yang baik antara pemerintah dan pihak terkait lainnya.
2. Bagi pemerintah, HKm dapat: (a) sumbangan tidak langsung oleh masyarakat melalui rehabilitasi yang dilakukan secara swadaya dan swadana, dan (b) kegiatan HKm berdampak kepada pengamatan hutan.
3. Bagi fungsi butan dan restorasi habitat (a) terbentuknya keaneka ragaman tanman, (b) terjaganya fungsi ekologis dan hidro orologis, melalui pola tanam campuran dan teknis konservasi lahan yang diterapkan, dan (c) menjaga kekayaan alam flora dan fauna yang telah ada sebelumnya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Gunungkidul
Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan program pemerintah dalam usahanya untuk memberdayakan masyarakat dalam memanfaatkan hutan negara. Salah satu lokasi untuk pengembangan HKm adalah Provinsi DI Yogyakarta. Luas hutan di Propinsi DIY menurut Keputusan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan No. 188.4/3710 tanggal 22-10-2003 adalah 18.044,9670 ha atau 5,6 % dari luas Propinsi DIY. Hutan tersebut tersebar di empat wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kulonprogo.
Hutan negara di Gunungkidul memiliki luasan terbesar bila dibandingkan dengan hutan negara di kabupaten lainnya di DIY. Berdasar data terbaru yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Propinsi DIY 2003, luasan hutan negara di Gunungkidul adalah 14.224,877 ha. Luasan ini kemudian terbagi ke dalam beberapa fungsi hutan sebagai berikut: hutan lindung (254,9 ha), hutan produksi (12.208,48 ha), suaka margasatwa (434,60 ha), hutan AB (991,447 ha), HDTK tahura (617 ha), HDTK Wanagama (599,90 ha), dan hutan penelitian (130 ha) (Sumber: Rencana Pengelolaan Hutan DIY (2005).
Luasan hutan negara yang ada di Propinsi DIY, telah dicadangkan sebagai areal Hutan Kemasyarakatan (HKm) seluas 4.186,4 ha di Kabupaten Gunungkidul dan 203,00 ha di Kabupaten Kulonprogo. Tabel berikut menyajikan luasan areal HKm yang dicadangkan pada tiap Bagian daerah Hutan (BDH): Paliyan (2.047,90 ha), Playen (617,80 ha), Panggang (943,70 ha), Karangmojo (577 ha), dan Kulonprogo (203 ha) (Sumber: Rencana Pengelolaan Hutan DIY, 2005)
Kriteria utama yang digunakan untuk menetapkan areal HKm dan menjadi prioritas dicadangkan adalah:
1. Kawasan hutan yang benar-benar sedang dikelola atau diusahakan oleh masyarakat setempat.
2. Sebagian besar masyarakatnya memanfaatkan hasil hutan baik langsung (kayu dan non kayu) maupun tak langsung seperti air dan kesegaran udara.
3. Kawasan hutan yang sedang diklaim masyarakat setempat.
4. Masyarakat telah mengajukan permohonan Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm).
5. Kawasan hutan yang rawan karena permasalahan sosial ekonomi, antara lain perambahan, pencurian hasil hutan, kebakaran hutan, dan adanya konflik dengan pihak lain.
Pengembangan HKm di DIY sudah sampai pada pemberian izin definitif (IUPHKm) oleh bupati. Sampai saat ini, lahan HKm yang telah dikerjakan oleh masyarakat sekitar hutan dan sudah mendapatkan ijin tetap seluas 1.089,95 ha (26,48 %) Kabupaten Gunungkidul dan seluas 196,8 ha (96,94 %) di Kabupaten Kulonprogo dari luasan areal yang dicadangkan. Izin Pemanfaatan HKm (IUPHKm) tersebut dikeluarkan oleh bupati dan diperuntukkan kepada 35 kelompok tani HKm di Gunungkidul dan 7 kelompok tani HKm Kulonprogo.
Izin definitif HKm merupakan langkah awal dimulainya proses-proses produksi di areal HKm seperti tebangan penjarangan dan pengaturan hasil kayunya yang merupakan implementasi rencana kelolanya. Selanjutnya, saat ini sudah disiapkan replikasi untuk perluasan HKm pada sisa areal pencadangan HKm yang belum dikelola seluas 3.100 ha. Identifikasi dan penataan kawasan perluasan HKm sedang disiapkan dan dilakukan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) XI. Sedangkan fasilitasi rencana kelola dilakukan oleh LSM Shorea dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul.
Kebutuhan benih unggul diareal HKm juga sedang disiapkan dengan membangun sumber benih di salah satu kelompok HKm yang merupakan kerjasama antara Fakultas Kehutanan UGM, Javlec, dan Shorea. Kebun benih rakyat ini nantinya diharapkan bisa memproduksi bibit-bibit unggul untuk memenuhi kebutuhan HKm, kebutuhan hutan milik, dan bahkan sebagai salah satu bisnis kelompok HKm untuk suplier benih unggul.
Dalam mempersiapkan IUPHHK HKm maka kelompok tani HKm mendirikan koperasi atau bergabung dengan koperasi yang sudah ada di daerah terdekat. Dari 35 kelompok tani HKm di Gunungkidul tersebut bergabung menjadi 7 koperasi. Sedangkan di Kulon progo masing-masing kelompok tani mendirikan koperasi.
Jaringan Komunikasi HKm di Yogyakarta telah terbangun mulai dari level BDH/kecamatan, level kabupaten, sampai level propinsi. Forum komunikasi tersebut membantu fasilitasi KTHKm yang dilakukan Pemerintah, dan meningkatkan peran serta KTHKm dalam pengurusan hutan. Sedang pada level propinsi beberapa hal yang berkaitan dengan penguatan dan pengembangan dilakukan oleh POKJA HKm DIY. Saat ini sudah terbentuk beberapa forum HKm seperti forum BDH Playen, forum BDH Panggang, forum BDH Paliyan, dan forum HKm Kulonprogo.
Beberapa LSM melakukan pendampingan kelompok tani HKm, pelatihan, asistensi teknis dan administrasi, serta membantu instansi teknis kehutanan dalam melakukan fasilitasi penyelenggaraan HKm. Pendampingan kelompok tani HKm di Gunungkidul dilakukan oleh LSM Shorea dan partner yang tergabung dalam Konsorsium Pengembangan HKm.
Salah satu yang terpenting pasca penerimaan izin definitif HKm adalah segera dilakukan pengajuan usulan untuk melakukan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayunya (IUPHHK). Hal ini memang diatur dalam PP 06/2007 dimana kelompok yang sudah menerima izin definitif HKm diharuskan mengajukan izin lagi jika ingin melakukan pamanfaatan kayu (penebangan) sesuai dengan rencana kelola dan siklus daurnya. Oleh karenanya pengawalan, pendampingan dari semua pihak, dan assistensi dalam kerangka untuk meningkatkan profesionalisme pengelolaan HKm oleh kelompok masyarakat masih tetap diperlukan.
3.2 Wahana Multipihak Pengembangan HKm Gunungkidul
Program Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan program pemerintah yang tidak sekedar memberikan alternatif agar masyarakat sekitar hutan dapat mengelola hutan. Melainkan juga memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada masyarakat untuk bersama-sama dengan berbagai pihak mengelola sumberdaya hutan secara penuh. Agar nantinya dapat tercapai kesejahteraan rakyat dengan senantiasa memperhatikan upaya pelestarian alamnya. Berdasarkan hal tersebut di atas, pengembangan HKm meliputi: a) pemerataan pembangunan, b) mengembangankan partisipasi masyarakat, c) mewujudkan kemandirian dan melaksanakan desentralisasi, d) perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam, dan e) keberhasilan fungsi dan manfaat hutan.
Untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah digariskan tersebut, maka pengembangan HKm mengacu pada kebijakan umum. Pertama, HKm merupakan sistem pengelolaan hutan mencakup semua dimensi atau aspek secara komprehensif. Meliputi aspek penataan dan perencanaan, pemanfaatan hutan (kayu dan non kayu, termasuk lingkungan) dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan lahan dalam rangka memulihkan dan meningkatkan produktivitas, serta perlindungan dan konservasi hutan dan lahan. Jadi HKm tidak hanya membicarakan perlakuan pengelolaan hutan secara parsial, seperti pemanfaatan, rehabilitasi, atau konservasi hutan saja.
Kedua, pengembangan HKm melalui sistem pengelolaan yang komprehensif, tidak mengubah status fungsi tetapi hanya memberikan hak dan tanggung jawab mengelola hutan di areal yang telah ditetapkan pada suatu kelembagaan pengelolaan HKm. Kelembagaan HKm merupakan legitimasi pencadangan kawasan, struktur kemitraan, struktur manajemen hutan, manajemen usaha, penyediaan modal, dan sistem pendukung lainnya.
Ketiga, di dalam kelembagaan yang dimaksud melekat tugas, tanggung jawab, dan hak masing-masing pihak/mitra yaitu masyarakat, pemerintah (pusat dan daerah) serta pihak lainnya. Pengembangan kelembagaan merupakan proses transformasi dari sistem yang ada dan dilakukan secara bertahap. Dengan demikian, pengembangan HKm merupakan program jangka panjang yang melengkapi dan memperkuat pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM).
Tujuan akhir program HKm untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya hutan dan kesejahteran masyarakat. Khususnya kesejahteraan yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan yang penghidupannya bergantung pada kegiatan-kegiatan berbasis sumberdaya hutan. Untuk mencapai tujuan tersebut kebijakan ini diharapkan dapat membangkitkan kegiatan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Kedua mempercepat rehabilitasi hutan dengan mendayagunakan semua sumberdaya pembangunan yang ada, baik masyarakat, pemerintah dan dunia usaha dalam kelembagaan kemitraan pengelolaan hutan. Selanjutnya juga kebijakan itu dapat meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat (formal dan non formal) dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Program HKm di Kabupaten Gunungkidul telah dilaksanakan oleh 35 kelompok tani hutan seluas 1.087,5 Ha sejak tahun 1995. Di dalam pelaksanaannya menunjukkan suatu prospek positif baik dari sudut pandang pemerintah maupun masyarakat di sekitar kawasan hutan negara. Selama hampir sepuluh tahun lebih pelaksanaan HKm tersebut banyak ditemui kendala yang dihadapi oleh pemerintah maupun masyarakat pengelola HKm. Kendala tersebut dapat dirasakan khususnya tentang kesiapan kelembagaan kelompok tani pengelola, teknis pengelolaan lahan, dan kendala pengembangan usaha kelompok.
Sehingga dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan HKm, kelompok tani membutuhkan pendampingan dan fasilitasi. Tentunya juga memfasilitasi sisi pemasaran hasilnya. Pendampingan ini tentunya melibatkan pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pendampingan tersebut meliputi teknis pengelolaan lahan dan administrasi kelembagaan dan organisasi menuju koperasi berbadan hukum. Pendampingan ini juga untuk meningkatan kualitas SDM petani dan membantu menyusun rencana kelola jangka pendek, menengah, dan panjang. Selanjutnya juga agar kelompok dapat mengolah hasil hutan dengan teknologi tepat guna agar nantinya dapat mengembangkan usaha kelompok yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam jangka waktu tertentu.
Selain menjalankan fungsi pendampingan intansi terkait tersebut juga memfasilitasi mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan kelompok dengan melibatkan berbagai pihak. Semua agar terjadi suatu rencana dan pelaksanaan pengelolaan HKm secara sinergis, terencana, dan berkelanjutan. Oleh karena itu, agar memperlancar kegiatan tersebut maka dibentuklah wadah yang memilki fungsi koordinasi, fasilitasi, dan mediasi dari tingkat paling rendah sampai tingkat atas. Wadah tersebut tentunya perlu diwujudkan dan difungsikan secara optimal. Wadah tersebut adalah forum komunikasi HKm baik di tingkat kabupaten maupun kecamatan atau Bagian Daerah Hutan (BDH).Dalam sejarahnya Forum Komunikasi HKm tingkat Bagian Daerah Hutan (FKBDH) berawal dari pembentukkan Forum Komunikasi HKm tingkat kabupaten pada tahun 1999. Hanya saja karena forum tingkat kabupaten tersebut menghadapi berbagai kendala sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Kemudian muncullah ide untuk membentuk forum komunikasi di tingkat BDH. Pembentukkan FKBDH ini bermasksud agar fungsi komunikasi dan kooordinasi tetap berjalan dan tentunya lebih mengefesienkan kinerja forum. Kelompok tani akan lebih mudah melakukan koordinasi, konsultasi, dan mediasi dengan berbagai pihak di forum tingkat BDH tersebut.
FKBDH tersebut beranggotakan perwakilan kelompok di wilayah BDH, pihak kecamatan, pihak desa, perwakilan dusun, tokoh masyarakat, serta pihak-pihak terkait. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi FKBDH semestinya menampung segala aspirasi dari berbagai pihak dalam merumuskan dan memecahkan permasalahan- permasalahan yang dihadapi. Perumusan tersebut kemudian dikoordinasikan dan disampaikan ke forum yang lebih tinggi untuk digodog lebih matang. Hasil rumusan tersebut nantinya akan ditindaklanjuti dan diselesaikan di tingkat bawah. Secara keseluruhan koordinasi ini berawal dari forum tingkat kabupaten sampai pada tingkat BDH/kecamatan.
Kegiatan-kegiatan forum itu juga seharusnya dilaksanakan secara rutin. Agar saat ditemui kendala maupun hal terkait dengan kemajuan dan peningkatan pelaksanaan HKm dapat segera ditindaklanjuti. Sehingga kegiatan pengelolaan HKm menjadi lebih sinergis dan baik, baik di tingkat BDH maupun kabupaten. Untuk itu peran dari pemerintah desa dan kecamatan menjadi penting karena pihak tersebut yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Kedua pihak tersebut dinilai memiliki data dan lebih mengerti kondisi potensi dan permasalahan yang dihadapai masyarakat di wilayah masing-masing. Dengan dukungan tersebut nantinya akan lebih mempermudah koordinasi untuk memecahkan solusi permasalahan, peningkatan SDM dan lainnya berjalan lebih efektif, efesien, dan tepat sasaran.
Pengelolaan kawasan hutan merupakan suatu kegiatan yang strategis karena melibatkan masyarakat dan berbagai pihak terkait dengan kawasan hutan luasan tertentu dan tersebar. Agar pengelolaan HKm dapat berjalan dengan baik dan berhasil maka pengelolaan HKm harus terencana secara sinergis, terpadu, dan melibatkan banyak pihak. Dengan demikian dengan tumbuh kembangnya Forum Komunikasi Tingkat BDH diharapkan pengelolaan HKm dapat berdaya guna dan berhasil guna bagi masyarakat. Selanjutnya sumberdaya hutan, air, dan tanah dapat dikelola secara berkelanjutan. Serta secara ekonomi dapat membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar kawasan hutan. Pada akhirnya tujuan kelestarian fungsi sosial ekonomi dan lingkungan dapat tercapai.
3.3 Peran Desa dalam HKm di Gunung Kidul
Terbitnya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Otda/Otonomi Daerah) dipahami sebagai upaya serius elite-elite politik untuk mendorong kemandirian pemerintahan daerah, dari tingkat propinsi hingga tingkat desa. Dengan segala kelemahannya, setelah UU Otda ini dijalankan ternyata telah memberikan peluang yang cukup besar bagi tumbuhnya otonomi dan demokratisasi di desa. UU Otda juga memberikan harapan tumbuhnya pemerintahan yang otonom di tingkat pemerintahan desa dan tatanan kehidupan masyarakat desa yang demokratis. Yang paling nyata adalah UU Otda membuka kesempatan pada desa untuk membangun pilar Pemerintahan Desa yaitu badan legislasi desa yang disebut BPD (Badan Perwakilan Desa). Melalui pembentukan BPD dapat memberikan peluang pada masyarakat untuk belajar mewujudkan demokratisasi di desa. Belum sampai peluang ini termanfaatkan, kini UU No. 22/1999 telah direvisi menjadi UU No.32/2004 dan peran BPD dihilangkan. Ini berarti dihilangkanlah pula peran legislasi desa (BPD) sebagai elemen strategis berkembangnya demokratisasi dan otonomi desa dalam bidang pemerintahan.
Desa ditempatkan sebagai korban para pejabat supra desa. Pada kasus-kasus pengelolaan sumber daya alam yang ada di desa, desa hanya dijadikan lokasi objek pembangunan, atau desa hanya dijadikan lokasi objek industri yang berkembang. Contoh yang paling konkret adalah kasus pertambangan batu putih di Kabupaten Gunungkidul. Investor dan pemerintah daerah mendapatkan keuntungan dari hasil pengerukan sumber daya alam batu kapur itu, akan tetapi masyarakat desa dan lingkungan hanya bisa melihat perpindahan sumber daya alam ke
Dalam pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Gunungkidul, masyarakat desa yang diwakili oleh pemerintah desa juga tidak mempunyai peran dan kewenangan apapun. Selama ini peran pemerintah desa hanya sekadar sebagai penjamin legalisasi keberadaan kelompok tani dalam persyaratan pengajuan izin HKm. Desa tidak lebih sebagai bagian birokrasi yang harus dilewati untuk mendapatkan cap pengesahan dalam proses pengajuan Izin HKm sebagaimana diatur dalam pasal 12 SK Menhut No 31/2001. Selain itu, dalam banyak hal pemerintahan desa (pemerintah desa dan badan perwakilan desa) miskin informasi tentang HKm dan manfaatnya bagi masyarakat desa bersangkutan. Padahal bila dilihat perkembangannya di lapangan, peran desa dalam HKm sangatlah bisa dikembangkan. Pemerintah desa dapat menjadi mediator dan penengah dari beberapa konflik horizontal yang terjadi pada masyarakatnya. Ini bisa dimengerti karena pemerintah desa memiliki hubungan emosional yang paling dekat dengan kelompok tani.
Pada era desentralisasi, gagasan untuk membangun desentralisasi pembangungan dan kewenangan politik dalam pengelolaan HKm terus dibicarakan masyarakat desa. Salah satu bentuk desentralisasi desa adalah desa mampu membangun kebijakan tingkat desa yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
Dalam konteks HKm, sumbangsih yang cukup strategis dari pemerintah desa untuk berperan serta dalam menyukseskan HKm adalah melahirkan produk hukum berupa Peraturan Desa (Perdes) yang mengatur HKm di tingkat desa. Kebutuhan akan adanya Perdes sangat diperlukan karena di beberapa kelompok tani HKm anggotanya berasal dari beberapa desa yang berbeda. Geliat inilah yang terjadi di lima desa di Kabupaten Gunungkidul yakni Desa Ngeposari Kecamatan Semanu, Desa Girisuko Kecamatan Panggang, Desa Banyusoco Kecamatan Playen, Desa Bleberan Kecamatan Playen, dan Desa Karangduwet Kecamatan Paliyan.
Dalam hal ini, kebijakan desa yang bagaimanakah yang perlu dibangun dan di dorong dalam usahanya mendukung HKm. Apa yang perlu diatur dalam Perdes nantinya?. Pertanyaan ini patut dipikirkan dan dicarikan jawabannya. Apakah mungkin Perdes itu mengatur tentang pengelolaan HKm-nya yang dikelola oleh kelompok tani. Untuk saat ini saya kira tidak mungkin. Hal ini bisa dijelaskan bahwa undang-undang yang ada dan mengatur tentang kewenangan desa belum sampai ke situ. Ini diperkuat dengan kenyataan bahwa yang masih memegang peranan penting dalam pengelolaan HKm selama ini adalah pemerintah pusat. Kewenangan politik desa pada kawasan hutan negara di Gunungkidul masih minim bahkan dapat dikatakan tidak ada.
Kawasan hutan negara yang ada dengan luas kurang lebih 13.000 ha dikuasai oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY termasuk HKm di dalamnya. Dalam pemanfaatannya, penggunaan kawasan hutan negara masih ditentukan oleh pemerintah pusat. Hal ini diperkuat lagi pada aspek legal formal bahwa pengelolaan HKm selama ini masih menggunakan sandaran hukum SK Menhut No 31/2001 tentang penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Dalam hal pemberian izin pengelolaan kepada kelompok tani, Menteri Kehutanan memberikan rekomendasi kepada Gubernur untuk memberikan izin sementara. Selanjutnya Gubernur memberikan rekomendasi kepada Bupati untuk memberikan izin sementara pengelolaan HKm kepada kelompok tani. Kemudian dalam pelaksanaannnya di lapangan, izin sementara pengelolaan HKm oleh kelompok tani di atur dan dikeluarkan oleh Bupati Gunungkidul dengan SK No. 213/Kpts/2003 tentang Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan Kabupaten Gunungkidul. Dengan demikian segala aturan main dalam pengelolaan HKm yang mengikat antara kelompok tani dan pemerintah diatur dalam SK Bupati tersebut.
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa kewenangan desa dalam hutan negara belum ada. Lalu dimana peran Perdes dalam pengelolaan HKm? Apa yang perlu diatur dalam Perdes tersebut?
Peran pemerintah desa sebenarnya lebih ditekankan tentang aturan main yang berada di luar koridor pengelolaan HKm yang telah diatur oleh SK Bupati No.213/Kptas/2003. Perdes yang dilahirkan tidak boleh mengatur hal yang sama dengan yang diatur dalam SK Bupati tersebut. Tentang bagi hasil misalnya, dalam SK Bupati sudah diatur bahwa bagi hasil antara KTH dengan pihak pemerintah adalah 60:40. Maka dalam Perdes, hal yang mengatur bagi hasil pengelolaan HKm tersebut tidak boleh ada. Perdes hanya boleh mengatur tentang bagi hasil dari bagian yang diterima oleh KTH. Itu berarti bagian yang 60 % yang diterima KTH akan dibagi lagi antara pemerintah desa dan KTH sesuai kesepakatan dari penjaringan aspirasi masyarakat dan besarnya peran dan tanggung jawab masing-masing pihak. Untuk kasus Desa Ngeposari Semanu misalnya, 60 % yang diterima KTH bila diibaratkan 100 % akan dibagi lagi menjadi 68 % untuk penggarap, 10 % untuk desa, 20 % untuk KTH dan 2 % persen untuk cadangan sosial.
Ruang lingkup dari Perdes yang lain misalnya berisi tentang bagaimana mengatur perilaku dan tindakan para pengelola HKm, warga desa dalam pengelolaan HKm baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Terutama yang berkaitan dengan pengawasan dan keamanan lokasi HKm. Di Desa Girisuko Panggang, salah satu isi draf Rancangan Peraturan Desa (Raperdes) berisi tentang pembatasan perilaku warga untuk tidak merusak kawasan dan kayu HKm. Jika terjadi pengrusakan atau pencurian yang dilakukan oleh warga Desa Girisuko maka sanksi pelanggaran diterapkan oleh pemerintah desa dengan berkoordinasi kelompok pengelola HKm. Secara garis besar, draf Raperdes tentang HKm di lima desa tersebut mengatur tentang pengawasan dan keamanan pengelolaan HKm, pemberdayaan kelompok HKm dengan dukungan pemerintah desa, dan aturan bagi hasil antara pemdes dengan kelompok pengelola dari hasil bagian yang diterima kelompok.
Wujud akhir peran desa berupa perdes merupakan bukti bahwa kelompok tani HKm tidak bekerja sendiri dalam mengelola HKm. Hampir semua pihak di Propinsi DIY mendukung untuk suksesnya HKm. Mulai dari POKJA HKM DIY yang merupakan gabungan dari para stakeholder di Yogyakarta (Dawam, Kedaulatan Rakyat 13 Februari 2006), pemerintah daerah, sampai pada pemerintah desa. Hanya satu yang menjadi kendala bagi kelompok untuk mengelola HKm yakni rekomendasi dari Menteri Kehutanan untuk kepastian izin pengelolaan jangka panjang.
BAB IV
KESIMPULAN dan SARAN
4.1 Kesimpulan
PROGRAM Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan program pemerintah yang tidak sekedar memberikan alternatif agar masyarakat sekitar hutan dapat mengelola hutan. Melainkan juga memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada masyarakat untuk bersama-sama dengan berbagai pihak mengelola sumberdaya hutan secara penuh. Agar nantinya dapat tercapai kesejahteraan rakyat dengan senantiasa memperhatikan upaya pelestarian alamnya. Berdasarkan hal tersebut di atas, pengembangan HKm meliputi:
a) pemerataan pembangunan,
b) mengembangankan partisipasi masyarakat,
c) mewujudkan kemandirian dan melaksanakan desentralisasi,
d) perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam, dan
e) keberhasilan fungsi dan manfaat hutan.
Program HKm juga telah berupaya mengalihkan dari yang masyarakat memandang hasil hutan itu adalah kayu dan sekarang masyarakat harus bisa bahwa orientasi hutan itu bukan kayu saja malah ada hasil bukan kayu yang sangat memilii potensi tinggi.
4.2 Saran
Keterbatasan yang dimiliki pemerintah telah menyebabkan pemerintah mengalami kesulitan mengelola sendiri hutan, sehingga. muncul kesadaran bahwa. pembangunan kehutanan harus melibatkan semua pihak dan bertumpu kepada. masyarakat, khususnya masyarakat adat atau lokal yang selama ini berinteraksi langsung dan menggantungkan hidupnya dari hutan dan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pengelolaan sumber daya hutan. Maka perlua adanya pemberian kepercayaan terhadap masyarakat untuk bisa mengelola hutan secara lestari, namun perlu juga adanya komunikasi dan pembimbingan yang dipasilitasi oleh LSM ataupun stakholder terkait guna mendapatkan hasil yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Murbani, 2006, Kasubdin Kehutanan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul.
Wiyono Eko B, 2006, Peran Desa dalam Hutan Kemasyarakatan, Yayasan SHOREA, artikel, Yogya.
Bakhtiar Irfan, 2009, Hutan Kemasyarakatan dan Harapan Masyarakat Pinggir Hutan, artikel, Yogya.
Waznah, 2006, Program Pasca Sarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, Tesis, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Bengkulu.
laurio leonald konservasi sumberdaya hutan fahutan uniku 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar