homephoto grallerybuku tamulinktentang kamihome

05 Desember, 2010

lutung


Klasifikasi, Biomorfologi dan Ekologi Lutung
Klasifikasi Lutung (Trachypithecus auratus)
Primata ini sama halnya satwa lain, memiliki banyak sekali nama atau sebutan yang berbeda di daerah maupun  di tingkat internasional. Nama daerah dari lutung yang banyak dikenal adalah Lutung Jawa (sunda), Lutung Budeng (jawa), petu, hirengan (bali). Seringkali disebut lutung jawa, dan dalam bahasa Inggris seringkali disebut Javan Langur atau Ebony Leaf Monkey.
Menurut Mace dan Balmford dalam the IUCN Red List of Threatened Species tahun 2000 serta supriatna dan wahyono (2000) dalam Agustina (2007), klasifikasi dari Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) adalah :
Kerajaan          : Animalia
Filum               : Chordata
Kelas               : Mamalia
Ordo                : Primata
Family             : Cercopithecidae
Genus              : Trachypithecus
Spesies            : Trachypithecus auratus
Berdasarkan uraian di atas penulis cenderung menggunakan Lutung Jawa seperti yang digunakan oleh Supriatna dan Wahyono (2000) dibandingkan nama-nama daerah lainnya.
Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), keluarga besar lutung pada awalnya dimasukan kedalam genus Presbytis, namun sekarang beberapa jenis dimasukn kedalam genus Trachypithecus. Indonesia memiliki keluarga lutung (family Cercopithecidae) yang terdiri dari sepuluh jenis Presbytis dan dua jenis Trachypithecus.

Biomorfologi
Lutung Jawa mempunyai panjang dari ujung kepala hingga tungging rata-rata 597 mm baik jantan maupun betina dewasa. Panjang rata-rata ekornya 742 mm, sedangkan berat tubuhnya rata-rata 6,3 kg. Warna rambut hitam diselingi dengan warna keperak-perakan. Bagian ventral berwarna kelabu pucat dan kepala mempunyai jambul. Menurut Napier (1967), muka keluarga besar lutung pada umumnya berwarna hitam, begitu juga dengan telapak tangan dan kaki.
Menurut Brandon-Jones dalam anonim (2003), lutung betina dewasa memiliki sedikit perbedaan dengan lutung jantan dewasa pada daerah bagian pinggang atau pada bagian dalam paha atas yang berwarna agak pucat atau putih kekuning-kuningan tidak beraturan, seta memiliki bulu yang berwarna pucat pada bagian pantat dan punggung yang lebih hitam dari punggung lutung jantan.
Anak lutung yang baru lahir berwarna kuning jingga dan tidak berambut. Setelah meningkat dewasa warnanya akan berubah menjadi hitam kelabu. Warna lutung terang atau oranye hanya muncul pada anakan yang masih bayi atau baru saja lahir, pada umur enam bulan berubah jadi hitam, coklat atau abu-abu.
Susunan gigi dari lutung adalah 2 : 1 : 2 : 3 pada kedua bagian rahang atas dan bawah. Jenis makanan lutung terdiri lebih dari 66 jenis tumbuhan yang berbeda. Komposisi makanannya 50% berupa daun, 32% buah, 13% bunga dan sisanya bagian dari tumbuhan atau serangga. Daun muda dari Tectona grandis merupakan sumber pakan yang penting jika jenis-jenis makanan yang disukainya sangat sulit untuk dijumpai Kool dalam Anonim (2003) menemukan bahwa jenis Ficus sinuata, Ficus sumatrana dan Vitex pinnata merupakan jenis tumbuhan yang menjadi sumber pakan penting di beberapa daerah seperti di Pangandaran.

Habitat dan Persebaran
Keluarga besar lutung hidup tersebar hampir di seluruh kawasan Asia, mulai dari India, Pakistan, Neval hingga Kepulauan Ceylon. Sebaran geografis di Asia Tenggara meliputi Thailand, Malaysia, Sumatra, Jawa, Kalimantan dan kepulauan lainnya. Genus ini sebarannya tidak melewati garis Wallacea kecuali di Lombok yang merupakan satwa introduksi oleh penduduk setempat (Napier dan Napier, 1967).
Lutung Jawa ditemukan di pulau Jawa, Bali, Kalimantan, Sumatera dan Lombok. Menurut Supriatna dan Edy (2000) penyebaran jenis ini dapat dikelompokan dengan pembagian tiga sub spesies dari lutung. Persebarannya terbatas pada Jawa Barat bagian barat, Jawa Barat bagian tenggara dan tersebar di Bangka, Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera bagian selatan dan termasuk juga Jawa Timur, Bali dan Lombok.
Genus ini memiliki habitat yang luas, seringkali ditemukan pada ketinggian 3600 m di Pegunungan Himalaya. Di India dan Ceylon ditemukan di daerah kering dan di Assam serta Indochina ditemukan ditemukan di hutan hujan. Di Pilau Kalimantan dan Malaysia ditemukan di daerah hutan mangrove (Napier dan Napier, 1967).
Lutung Jawa ditemukan di hutan dataran rendah campuran pada pertumbuhan sekunder dengan tanaman jati, mahoni, dan akasia, sedangkan menurut Nijman dan Van Balen serta Gurmaya et al dalam Anonim (2003/a) spesies ini dapat hidup di hutan primer dan sekunder baik di tengah maupun di tepi kawasan.
Supriatna dan Wahyono (2000) mengungkapkan bahwa Lutung Jawa hidup di berbagai tipe ekosistem. Hutan bakau, hutan dataran rendah hingga hutan dataran tinggi, baik di hutan primer maupun hutan sekunder. Seringkali spesies ini juga ditemukan di daerah-daerah perkebunan dan hutan tanaman.
                       
Komposisi Kelompok
Dalam hidupnya Lutung Jawa membentuk kelompok dengan beberapa individu mulai dari 6 hingga 23 ekor. Dalam setiap kelompok teredapat jantan sebagai pemimpin kelompok, dan beberapa betina serta anak-anak yang masih dalam asuhan induknya (Supriatna dan Wahyono, 2000 dalam Agustina 2007). Menurut Napier dan Napier (1967), jenis primata ini memiliki kecenderungan lebih besar jika habitatnya terbuka dan di daerah kering.
Lutung jantan mendominasi anggota kelompok dalam hal perlindungan, pengamatan dan pergerakan harian. Jantan selalu menjaga anggota kelompok dari berbagai gangguan yang berasal dari luar atau dari kelompok lainnya. Jantan dominan berperan dalam menggerakan atau mengarahkan pergerakan kelompoknya, baik dalam mencari makan, tempat tidur atau tempat beristirahat (Napier dan Napier, 1967).

Prilaku Harian
Lutung merupakan satwa diurnal dan arboreal, yaitu satwa yang aktif disiang hari sejak matahari terbit hingga matahari terbenam, dan menghabiskan lebih banyak waktunya di atas pohon, dan kadang berjalan di atas cabang pohon (Supriana dan Wahyono, 2000).
Menurut  Napier dan Napier (1967), keluarga besar lutung melakukan pergerakan harian seperti berjalan dan berlari menggunakan keempat tungkainya secara bersamaan atau quadrupedal untuk mencapai pohon yang satu dengan yang lainnya, dilakukan dengan meloncat di antara percabangan pohon. Sebagaimana jenis lutung lainnya, Lutung Jawa juga makan dan beristirahat dengan posisi duduk di cabang, dengan ekor menggantung atau berfungsi sebagai penyeimbang badan di atas pohon.
Lutung Jawa dalam melakukan pergerakan harian mampu mencapai radius 500 hingga 1500 meter. Daerah jelajah mereka mencapai 5 – 23 Ha (Supriatna dan Edy, 2000). Luas daerah jelajah mereka sangat tergantung dari kondisi habitat, begitu pula dengan teritorinya (Napier dan Napier, 1967).
Luasnya daerah jelajah seringkali mengakibatkan daerah jelajah Lutung tumpang tindih atau overlapping. Lutung soliter yang masuk ke dalam daerah jelajah atau daerah kekuasaan suatu kelompok terkadang diserang oleh jantan dominan. Meskipun demikian, seringkali dua kelompok Lutung dapat hidup berdampingan tanpa timbulnya perkelahian atar kelompok.
  


Prilaku Birahi
           Pemimpin kelompok pada jenas ini biasanya berambut tebal dan mempunyai taring yang panjang dan merekalah yang mendapatkan  kesempatan pertamam mengawini Lutung betina yang sedang birahi, apabila Lutung betina berahi bertemu dengan jantan yang berkuasa mereka akan melakukan perkawinan dan dapat berlangsung beberapa jam atau beberapa hari. Pasangan ini akan makan bersama, tidur bersama, jantan mengurus betina mencari kutu nya pada waktu masa birahi. Kalau masa birahi sudah lewat maka yang betina akan mencari kutu jantannya. Selama perkawinan berlangsung maka jantan akan mengawini betian beberapa kali. Baru keempat aau kelima kalinya terjadi ejakulai selama 10-15 gerakan. Tanda-tanda betina birahi kulit kelaminnya berwarna kemerah-merahan, terjadi pembengkakan berbentuk bantalan padapulva dan pangka ekor . apabila Lutung jantan dan Lutung betina telah melakukan perkawinan dan terjadi pembuahan, Lutung  betina akan mengandung, umur kandungan tersebut selama 165 – 180 hari. Berdasarkan perkawinan tersebut anak anak Lutung sepenuhnya dipelihara oleh induk betina.

Perilaku Mencari Makan 
           Berdasarkan atas telaah langsung dilapangan, jenis-jenis tumbuhan yang dikonsumsi Lutung Jawa secara umum Lutung Jawa memakan bagian pucuk daun yang masih muda, tunas bunga, dan daun muda terutama dari jenis pohon :
  • Kihujan/Trembesi (Samanea saman)
  • Tekik (Albizzia lebbeckoides)
  • Kemloko (Phylantus emblica)
  • Pilang (Acacia leocoploea)
  • Trenggulun (Protium  javanicum)
  • Kesambi (scheleicera oleosa)
  • Kepuh (Sterculia foetida)
  • Buni (Antidesma bunius)
  • Talok (Grewia koordersiana)
  • Walikukun (Schoutenia ovata)
  • Ketapang (Terminalia cattapa)
  • Juwet Manting (Crypteronia paniculata)
  • Pacar gunung (Diospyros buxipolia)
  • Bunut (Ficus indica)
  • Sawo Kecik (Manilkara kauki)
  • Klampok (Eugenia javanica)
  • Kilayu (Erioglosum rubiginosum)
  • Buta buta (Excoecaria agallocha)
  • Asam Jawa (Tamarindus indica)
  • Bekul (Zizypus mauritiana) 
  • Kresek (Ficus rigida)

Berdasarkan pengamatan di lapangan, Lutung Jawa biasanya lebih menyukai daun daun yang masih muda dan jarang sekali Lutung Jawa memakan buah buahan artinya hanya dalam jumlah yang sedikit.

Ancaman dan Status Konservasi
Ancaman terbesar bagi populasi Lutung adalah perburuan oleh manusia untuk diperdagangkan baik dalam bentuk hidup maupun awetan. Perusakan  habitat juga merupakan ancaman bagi kelestarian dan jumlah populasi Lutung terutama di Jawa, akibat pembalakan dan berbagai kepentingan oleh manusia. Sejak tanggal 22 Desember 1999, Lutung telah dilindungi oleh undang-undang, berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 733/Kpts-II/1999, selain itu pada tahun 1996 oleh IUCN dikategorikan sebagai primata yang rentan terhadap gangguan oleh manusia (Supriatna dan Wahyono, 2000).
selengkapnya >>

kenangan soe hok gie

SOE HOK GIE: Kenangan Kepada Seorang Demonstran

 Enam belas Desember 30 tahun lalu, Soe Hok Gie, tokoh mahasiswa dan pemuda, meninggal dunia di puncak Gunung Semeru, bersama Idhan Dhanvantari Lubis. Sosok dan sikapnya sebagai pemikir, penulis, juga aktivis yang berani, coba ditampilkan Rudy Badil, yang mewakili rekan lainnya, Aristides (Tides) Katoppo, Wiwiek A. Wiyana, A. Rachman (Maman), Herman O. Lantang dan almarhum Freddy Lasut.
“Siap-siap kalau mau ikut naik lagi ke Gunung Semeru. Kasih kabar secepatnya, sebab harus ada persiapan di musim penghujan

Desember, juga pertengahan Desember itu bulan puasa Ramadhan,” kata Herman O. Lantang, mantan pimpinan pendakian Musibah Semeru 1969, yang masih amat bugar di umurnya yang sudah lewat 57 tahun.
Terkejut dan tersentuh juga saya saat mendengar ajakan Herman itu. Dia merencanakan membentuk tim kecil untuk mendaki puncak Semeru lagi Desember ini, sambil memperingati 30 tahun meninggalnya dua sobat lama kami, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis. “Kita juga akan berdoa, sekalian mengenang Freddy Lasut yang meninggal beberapa bulan lalu,” lanjutnya.
Soe meninggal dunia saat baru berumur 27 tahun kurang sehari. Idhan malah baru 20 tahun. “Tanpa terasa Soe sudah tiga dasawarsa meninggalkan kita sejak Orde Baru … perkembangan yang terjadi di Tanah Air dalam dua tahun terakhir ini, khususnya gerakan mahasiswa yang telah menggulingkan pemerintahan Orde Baru, mengingatkan kita kembali pada situasi tahun 1960-an, ketika Soe masih menjadi aktivis mahasiswa kala itu,” begitu bunyi naskah buku kecil acara “Mengenang Seorang Demonstran”, (berisikan antara lain diskusi panel soal bangsa dan negara Indonesia ini), yang bakal diselenggarakan Iluni FSUI dan Alumni Mapala UI.
Kasih Batu dan Cemara
Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Soe yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), di benak saya mulai tergali suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di Gunung Semeru.
Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya Gunung Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, bersama Maman saya terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan. Kami menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru.
Di depan kelihatan Soe sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan. Sempat pula kami berpapasan dengan Herman dan Idhan. Kelihatannya kedua teman itu akan menjadi yang paling akhir mendaki ke Mahameru.
Dengan tertawa kecil, Soe menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan‘ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum bersama Maman saya turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, kami menunggu datangnya Herman, Freddy, Soe, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Soe dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, kami berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Soe, dan Idhan berkali-kali.
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Soe dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Kami berharap semoga Soe dan Idhan cuma pingsan, besok pagi siuman lagi untuk berkumpul dan tertawa-tawa lagi, sambil mengisahkan pengalaman masing-masing.Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta kami menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.
“Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, kami berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, kami yakin kalau Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kami jumpai jasad kedua kawan kami sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil Gunung Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Kami semua diam dan sedih.
Mengapa Naik Gunung
Sejak dari Jakarta Soe sudah merencanakan akan memperingati hari ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember, dalam tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta kami menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini monoton sampai sudah membosankan kuping dan tenggorokan.
Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mi hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam dingin dan hujan itu, kami bertujuh banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung. “Pokoknya gue akan berulang tahun di atas,” katanya sambil mesam-mesem. “Nyanyi lagi dong. Lagu Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali.”
Pagi hari nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke puncak, kami sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung. “Keren enggak?” Tanyanya.
Rombongan pun berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru dari dataran di kaki Gunung Bajangan. Soe sebagaimana biasanya, selalu memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih banyak harimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau Cemoro Kandang berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan.
Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya (saya), asal muasal nama recopodo alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa. Namun sang mahasiswa juga membayangkan dengan geli, betapa kagetnya wakil DPR-RI saat itu ketika menerima bingkisan dari kelompok Soe berisi gincu dan cermin sebagai perlambang fungsi anggota DPR yang banci. Sayang, cuma segitu ingatan saya tentang Soe pada jam-jam terakhirnya.
Yang masih tetap terngiang justru rayuan dan “falsafahnya”, kala mengajak seseorang mendaki gunung. “Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru, sekali-kali menjadi orang tertinggi di P. Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di P. Jawa ini,” kira-kira begitu katanya, sambil menyinggung nama mantan Presiden Soeharto, nun sekitar 30 tahun lalu.
Memang pendakian ke Semeru ini merupakan proyek kebanggaan Mapala FSUI 1969. Soe dengan keandalannya melobi kiri-kanan, mampu mengumpulkan dana untuk subsidi penuh beberapa rekan yang mahasiswa bokek sejati.
Singkat cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak orang. Kami yang ditinggal dalam suasana tak menentu, selama sembilan hari benar-benar hidup tidak kejuntrungan. Selain puasa sampai tiga hari karena kehabisan makanan, kami makin sedih saat menerima surat dari Tides via kurir, menanyakan keadaan Soe dan Idhan.
Herman, kami sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, sesudah jalan sepanjang malam (sekitar 20 jam). Pak Lurah menyanggupi tenaga bantuan 10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, dan Maman dll. secepatnya mendahului rombongan … Tides dan Wiwik 18-12-69.
Saya pun terpilih menjadi kurir, mendahului rombongan sambil membawa surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau bukan minta bantuan tenaga dan bahan makanan. Herman pun menulis surat: Saya tunggu di Cemorokandang dan bermaksud menunjukkan “site” tempat jenazah Soe dan Idhan … kirimkan: gula/gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaian hangat … sebanyak mungkin!
Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh anggota rombongan baru berkumpul lagi pada tanggal 22 Desember di Malang. Kurus dan kelelahan. Maman terpaksa dirawat khusus beberapa hari di RS Claket. Sedangkan Soe dan Idhan, terbaring kesepian di dalam peti jenazah masing-masing. Untuk terakhir kali, kami tengok Soe dan Idhan. Soe yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.
Monyet Tua Yang Dikurung
Kalau diingat-ingat, selama beberapa minggu sebelum keberangkatan dengan kereta api ke Jatim, Soe memang suka berkata aneh-aneh. Beberapa kali dia mengisahkan kegundahannya tentang seorang kawan yang mati muda gara-gara ledakan petasan. Ternyata dalam buku hariannya di CSD, Hok Gie menulis: “… Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru ….”
Soe yang banyak membaca dan sering diejek dengan julukan “Cina Kecil”, memanfaatkan kebeningan ingatannya untuk menyitir kata-kata “sakti” filsuf asing. Antara lain, tanggal 22 Januari 1962, ia menulis: “Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
Soe yang penyayang binatang (dia memelihara beberapa ekor anjing, banyak ikan hias dan seekor monyet tua jompo), sebelum musibah Semeru itu sempat berujar: “Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
Arief Budiman, sang kakak yang menjemput jenazah Soe di Gubuk Klakah, juga merasakan sikap aneh adiknya. Sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang … makin lama makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan … Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian.” (CSD) Arief sendiri mengungkapkan, ibu mereka sering gelisah dan berkata: “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang.” Terhadap Ibu, dia cuma tersenyum dan berkata: “Ah, Mama tidak mengerti”.
Arief pun menulis kenangannya lagi: … di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram karena voltase yang selalu naik turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, sering kali masih terdengar suara mesin tik … dari kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangan … saya terbangun dari lamunan … saya berdiri di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik, “Gie kamu tidak sendirian”. Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yag saya katakan itu.
Mimpi seorang Mahasiswa Tua
John Maxwell yang menyusun disertasinya, Soe Hok Gie – A Biography of A Young Indonesia Intellectual (Australian National University, 1997), menjabarkan betapa banyaknya komentar penting terhadap kematian Hok Gie. Harian Indonesia Raya yang masa itu sedang gencar-gencarnya mengupas kasus korupsi Pertamina-nya Ibnu Sutowo, memuat tulisan moratorium tentang Soe secara serial selama tiga hari.
Mingguan Bandung Mahasiswa Indonesia, mempersembahkan editorial khusus:
…Tanpa menuntut agar semua insan menjadi seorang Soe Hok-gie, kita hanya bisa berharap bahwa pemuda ini dapat menjadi model seorang pejuang tanpa pamrih … kita membutuhkan orang seperti dia, sebagai lonceng peringatan yang bisa menegur kita manakala kita melakukan kesalahan.
Di luar negeri, berita kematian Soe sempat diucapkan Duta Besar RI Soedjatmoko, di dalam pertemuan The Asia Society in New York, sebagai berikut:
… Saya ingin menyampaikan penghormatan pada kenangan Soe Hok-gie, salah seorang intelektual yang paling dinamis dan menjanjikan dari generasi muda pasca kemerdekaan …. Komitmennya yang mutlak untuk modernisasi demokrasi, kejujurannya, kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan … bagi saya ia memberikan suatu ilustrasi tentang adanya kemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang telah disampaikannya kepada kita, dalam hidupnya yang singkat itu.
Kepada Ben Anderson, pakar politik Indonesia yang juga kawan lengket Soe, dalam salah satu surat terakhirnya, Soe menulis,
… Saya merasa semua yang tertulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan semuanya ingin saya isi dengan bom!
Dari cuplikan berbagai tulisan Soe, terasa sekali sikap dan pandangannya yang khas. Misalnya, Soe pernah menulis begini:
Saya mimpi tentang sebuah dunia, di mana ulama – buruh – dan pemuda, bangkit dan berkata – stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apa pun. Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
Khusus soal mahasiswa, menjelang lulus sebagai sejarawan, 13 Mei 1969, Soe sempat menulis artikel Mimpi-Mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua. Dalam uraian tajam itu, ia menyatakan:
… Beberapa bulan lagi saya akan pergi dari dunia mahasiswa. Saya meninggalkan dengan hati berat dan tidak tenang. Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan … Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa.
Saat dirinya masuk korps dosen FSUI, secara blak-blakan Soe mengungkap ada dosen yang membolos 50% dari jatah jam kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Terjemahan mahasiswa itu dipakainya sebagai bahan pengajaran, karena sang dosen ternyata tidak tahu berbahasa Inggris.
Masih di seputar mahasiswa, dalam nada getir, Soe menulis:
… Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh sementara dosen-dosen korup mereka.
Khusus untuk wakil mahasiswa yang duduk dalam DPR Gotong Royong, Hok Gie sengaja mengirimkan benda peranti dandan. Sebuah sindiran supaya wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di mata pemerintah. Padahal wakil mahasiswa itu teman-temannya sendiri yang dijuluki “politisi berkartu mahasiswa”. Langkah Soe ini membuat mereka terperangah. Sayangnya, momentum ini kandas. Soe Hok Gie keburu tewas tercekik gas beracun di Puncak Mahameru.
Berpolitik Cuma Sementara
John Maxwell dalam epilog naskah buku Mengenang Seorang Demonstran (November 1999), menulis begini,
“Saya sadar telah menulis tentang seorang pemuda yang hidupnya berakhir tiba-tiba, dan terlalu dini dengan masa depan yang penuh dengan kemungkinan yang begitu luas.”
Kita telah memperhatikan bagaimana Soe Hok Gie terpana politik dan peristiwa nasional, setidak-tidaknya sejak masih remaja belasan tahun … namun hasratnya terhadap dunia politik, diredam oleh penilaiannya sendiri bahwa dunia politik itu pada dasarnya lumpur kotor. Semua orang seputar Soekarno dinilainya korup dan culas, sementara pimpinan partai dan politisi terkemuka, tidak lebih dari penjilat dan bermental “asal bapak senang”, serta “yes men”, atau sudah pasrah.
Pandangan ini menjadi latar belakang pembelaan Soe akan kekuatan moral dalam politik di awal tahun 1966. Keikutsertaannya dalam politik hanya untuk sementara. Pada pertengahan tahun yang sama, dia menyampaikan argumentasi bahwa sudah tiba saatnya bagi mahasiswa untuk mundur dari arena politik dan membiarkan politisi profesional bertugas, membangun kembali institusi politik bangsa.”
Demikian tulis Maxwell.
Soe memang sudah bersikap. Dia memilih mendaki gunung daripada ikut-ikutan berpolitik praktis. Dia memilih bersikap independen dan kritis dengan semangat bebas. Pikiran dan kritiknya tertuang begitu produktif dalam pelbagai artikel di media cetak. Namun secara diam-diam, Soe ternyata juga menumpahkan unek-uneknya dalam bentuk puisi indah. Salah satunya Mandalawangi-Pangrango yang terkenal di kalangan pendaki gunung.
Pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis manis FSUI, selain kutu buku, macan mimbar diskusi, kambing gunung, tukang nonton film, juga penggemar berat folk song (meski sama sekali tak becus bernyanyi merdu). Berbadan kurus nyaris kerempeng, di gunung makannya gembul.
Bagi pemuda dan khususnya mahasiswa demonstran, masih ada potongan puisi Hok Gie yang sempat tercecer, baru muncul di harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973. Judulnya “Pesan” dan cukilan pentingnya berbunyi:
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi.
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
selengkapnya >>

PETUNJUK PENGAMATAN SATWA DI ALAM


PETUNJUK PENGAMATAN SATWA DI ALAM
Sebelum melakukan pengamatan, terdapat beberapa hal yang perlu Anda perhatikan dan persiapkan, yaitu :
Pakaian
Untuk mengamati satwa hendaknya tidak mengenakan pakaian berwarna cerah dan mencolok, karena hal ini akan membuat satwa takut dengan kehadiran Anda. Gunakanlah pakaian berwarna redup, seperti coklat atau hijau. Yang paling penting untuk diperhatikan adalah pakaian yang dikenakan harus nyaman, menyerap keringat, berkerah, mudah kering bila basah dan memiliki kantung untuk menyimpan buku catatan saku. Sebaiknya Anda menggunakan pakaian berlengan panjang, supaya tidak terganggu oleh gigitan serangga atau tergores duri. Jangan lupa menggunakan topi lapangan dan membawa payung.
Perlengkapan Pengamatan
Perlengkapan untuk pengamatan terdiri dari teropong, buku pengenalan jenis satwa (field guide) dan buku catatan lapangan.
Teropong, merupakan alat utama yang harus tersedia dalam melakukan pengamatan satwa. Teropong berukuran 8x30 dan 8x40 adalah yang paling ideal untuk pengamatan di hutan. Jika kita hendak mengamati burung di tempat terbuka, menggunakan teropong berukuran 10x40 akan lebih baik. Sedangkan bila kita akan mengamati satwa di tempat terbuka, teropong satu lensa (monocular) akan lebih baik lagi.
Buku pengenalan jenis (field guide), diperlukan untuk membantu kita mengenali jenis satwa yang kita lihat denga benar. Sayangnya, saat ini belum ada buku pengenalan satwa yang mencakup seluruh Indonesia.
Buku catatan lapangan, harus selalu dibawa oleh pengamat selama melakukan pengamatan. Buku ini sebaiknya memiliki sampul yang tahan air, tidak mudah terlipat dan berukuran kecil supaya dapat disimpan di saku baju atau celana. Jika buku pengenalan jenis sedang tidak ada atau jenis satwa yang diamati tidak dapat ditemukan dalam buku pengenalan jenis yang dibawa, buku catatan lapangan ini akan sangat berguna.
Cara Menggunakan Teropong
Untuk melakukan pengamatan satwa, sebelumnya kita harus menguasai cara-cara menggunakan teropong dengan benar. Berikut ini adalah panduan cara menggunakan teropong :
a.       Carilah roda fokus dan penala okuler pada teropong.
b.      Tutup lensa obyektif (lensa besar) sebelah kanan dengan tangan dan putar roda fokus hingga obyek terlihat jelas dengan mata kiri.
c.       Tutup lensa obyektif sebelah kiri dan putar roda penala okuler hingga obyek terlihat jelas dengan mata kanan.
d.      Sekarang teropong Anda sudah ditala untuk kondisi mata Anda, jangan lagi memutar penala okuler.
e.       Jika hendak melihat obyek yang berbeda dengan teropong, gunakan roda fokus untuk memperjelas obyek.
f.       Setelah bisa menggunakan teropong dengan baik, maka kita dapat memulai kegiatan pengamatan.
Cara Mengamati Burung
Hal pertama yang harus diingat selama melakukan pengamatan burung adalah bahwa penglihatan dan pendengaran burung sangat peka. Burung akan segera terbang dan menghilang dari pandangan apabila merasa terganggu dengan kehadiran kita. Oleh karena itu perlu diperhatikan beberapa hal di bawah ini :
-          Jangan bersuara dan berjalanlah secara perlahan-lahan.
-          Jika memungkinkan, carilah tempat untuk persembunyian.
-          Gunakan pakaian dan topi dengan warna yang redup (tidak mencolok).
-          Amati burung sambil duduk, karena dengan duduk Anda akan dapat bertahan lebih lama mengamatinya.
Secara garis besar, teknis pencatatan hasil pengamatan burung di lapangan adalah sebagai berikut :
-          Catat tanggal, waktu dan lokasi pengamatan.
-          Gambarkan lokasi pengamatan (misalnya di perumahan, kebun, hutan, dan lain-lain).
-          Catat kondisi cuaca pada saat melakukan pengamatan.
-          Catat jenis-jenis burung yang dijumpai selama pengamatan.
Pada kenyataannya, di lapangan seringkali kita menemukan jenis-jenis burung yang relatif sulit untuk dikenali (diidentifikasi). Untuk jenis-jenis seperti ini kita harus melihatnya dari jarak yang cukup dekat, supaya bisa menggambarkannya dengan jelas di buku catatan lapangan. Gambar dalam buku catatan lapangan sebaiknya meliputi bentuk dasar, warna bulu sayap, warna kepala, bentuk paruh, warna perut dan ukuran tubuhnya. Untuk menentukan ukuran sebaiknya menggunakan burung-burung yang telah Anda kenal sebagai acuannya, misalnya lebih besar dari burung gereja, tetapi lebih kecil dari burung jalak. Jangan sekali-kali mengandalkan ingatan semata, tetapi harus selalu dibiasakan untuk menggambarkannya di buku catatan lapangan.
-          Catat jumlah individu masing-masing jenis burung yang kita jumpai
Menghitung jumlah burung yang mengelompok seperti burung pantai, akan relatif sulit, terutama bagi pengamat pemula. Cara melatihnya adalah dengan mengamati sekelompok burung dan memperkirakan jumlahnya, kemudian hitung satu persatu. Adakah perbedaan antara jumlah sebenarnya dengan perkiraan kita?
-          Catat aktifitas dari burung yang sedang Anda amati, misalnya sedang makan, berkicau, menisik, dan lain-lain.
-          Catat interaksinya dengan lingkungan sekitar, misalnya sedang berkejaran dengan jenis burung lain atau sedang bertengger di atas kerbau, dan lain-lain.
-          Kompilasikan data pengamatan Anda dalam suatu buku / lembar catatan pengamatan.
-          Mengenal Satwa Primata di Alam
Di dunia terdapat 195 jenis primata, 40 jenis diantaranya hidup di Indonesia. Dari 40 jenis tersebut, 5 diantaranya hidup di hutan alami Pulau Jawa, yaitu : Owa Jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata), Lutung Jawa (Trachypitecus auratus), Kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan Kukang (Nycticebus coucang).
Primata atau jenis monyet merupakan hewan yang karena keunikannya banyak diteliti oleh para peniliti, baik dari manca negara maupun dari dalam negeri sendiri. Sejak dulu, satwa primata telah dieksploitasi oleh manusia untuk keperluan kehidupan manusia dan cenderung lebih bersifat negatif, seperti banyak dijadikan hewan percobaan dalam bidang medis, bahkan sering dijumpai sebagai satwa tontonan seperti sirkus dan sejenisnya.
Padahal, primata seharusnya tetap dilestarikan di alam, karena satwa ini banyak membantu manusia dalam menjaga kelestarian hutan, dan hutan merupakan sumber air, penjaga keseimbangan iklim, sumber bahan obat-obatan, sumber plasma nutfah, serta banyak lagi fungsi hutan lainnya yang bisa memberikan kelestarian bagi kehidupan manusia. Dan kegiatan pengamatan satwa primata akan memberikan keasyikan tersendiri apabila dilakukan di lingkungan tempatnya hidup, yaitu di hutan.
Cara Mengamati Primata di Alam
Siapkan alat-alat yang diperlukan untuk pengamatan, antara lain teropong, peta lokasi, kompas, altimeter, jam tangan, rain coat / payung, buku / lembar catatan, alat tulis, alat perekam seperti tape atau kamera, buku panduan lapangan tentang primata, pakaian dan tas lapangan yang memadai.
Lakukan pencarian / survey lokasi ke tempat-tempat primata biasa ditemukan. Setelah kelompok primata ditemukan, lakukan pengamatan dan catat data-data, seperti pohon tempat beraktivitas makan, istirahat, dan lain-lain. Hitung jumlah individu dalam kelompoknya. Coba untuk mengetahui jenis kelamin dan kehidupan sosialnya, seperti yang mana pimpinan kelompoknya, catat nama-nama bagian tumbuhan yang dimakan, dan lain-lain.

selengkapnya >>