homephoto grallerybuku tamulinktentang kamihome

14 Juli, 2009

hutan kemasyarakatan gunung kidul

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebijakan pembangunan kehutanan yang selama ini bersifat sentmlistik dianggap oleh beberapa pihak tidak begitu efektif menjaga kawasan hutan. Dengan sistem ini, masyarakat adapt atau lokal kurang dilibatkan dalam pengelolaan hutan yang sesungguhnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan sama sekali dari kehidupan mereka, dan kadangkala mereka justru dirugikan akibat kebijakan yang telah diambil pemerintah secara sepihak.

Keterbatasan yang dimiliki pemerintah seperti kurangnya tenaga lapangan, sarana dan prasarana begitu juga dana, telah menyebabkan pemerintah mengalami kesulitan mengelola sendiri hutan yang sangat luas tersebut (Rahardjo dan Isnaini, 2006). Telah memberikan kesadaran bahwa pembangunan kehutanan harus bertumpu kepada masyarakat khususnya masyarakat adat atau lokal yang selama ini berinteraksi langsung dan menggantungkan hidupnya dari hutan.

Seiring dengan pelaksanaan Otonomi Daerah yang digagas dalam Undang undang Nomor. 22 tahun 1999, telah memberikan semangat desentralisasi yang memberikan kewenangan lebih banyak bagi pemerintah daerah untuk mengelola wilayahnya serta kesadaran Pemerintah akan pentingnya keterlibatan masyarakat adat atau lokal dalam pengelolaan hutan, maka paradigma pengelolaan dan pembangunan kehutanan yang dulu berorientasi pada hutan sebagai penghasil kayu menjadi lebih menempatkan masyarakat adat atau lokal sebagai pelaku utama pengelolaan sumber daya hutan. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa pengelolaan hutan akan lebih baik dan efektif bila melibatkan masyarakat secara sungguh sunggguh (Rahaardjo dan Isnaini, 2006).

Pemerintah Indonesia sendiri telah melakukan beberapa kebijakan dalam melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat, yang salah satunya adalah program Hutan Kemasyarakatan (HKm). Program Hutan Kemasyarakatan ini dilaksanakan dengan cara memanfaatkan hutan lindung yang terlanjur dibuka oleh masyarakat setempat melalui penanaman Tanaman Serba Guna (Multi Purpose Trees Spestes) dan kawasan hutan produksi yang dapat ditanam dengan. tanaman kayu kayuan yang dapat diambil hasilnya dengan berpijak pada peraturan perattum yang telah ditetapkan. Melalui program ini lahan yang semula terbuka bisa tertutup kembali oleh Tanaman Serba Guna (Multi Purpose Trees Spesies) dan masyarakat dapat mengambil manfaat dari hasil Tanaman Serba Guna (Multi Pwpose Trees Spesies) tersebut (Arsyad, I dan S. Rahaijo. , 2004).

Kerusakan hutan yang selama ini selalu dikaitkan kepada masyarakat perambah hutan dan peladang liar dapat dicegah dan ditanggulangi melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam kebijakan dan pengelolaan sumberdaya hutan melalui kegiatan Hutan Kemasyarakatan ini. Dilihat dari keterangan diatas maka perlu adanya kajian ataupun pembahasan masalah yang berhubungan dengan hutan kemasyarakatan baik pengelolaan, manfaat hingga prosesnya seperti apa.

1.2 Tujuan

  1. Ingin mengetahui pengelolaan Hutan kemasyarakatan di gunung Kidul DI Yogyakarta.
  2. Ingin mengetahui wahana multipihak hutan kemasyarakatan di gunung Kidul DI Yogyakarta.
  3. Ingin mengetahui peranan desa dalam hutan kemasyarakatan di gunung Kidul DI Yogyakarta.

1.3 Rumusan Masalah

  1. Bagaimanakah pengelolaan Hutan kemasyarakatan di gunung Kidul DI Yogyakarta ?
  2. Seperti apakah wahana multipihak hutan kemasyarakatan di gunung Kidul DI Yogyakarta ?
  3. Bagaimanakah peranan desa dalam hutan kemasyarakatan di gunung Kidul DI Yogyakarta ?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Kemasyarakatan (HKm)

Pemberdayaan masyarakat setempat melalui hutan kemasyarakatan dilakukan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan. Hutan kemasyarakatan dapat diberikan pada :

a). hutan konservasi, kecuali cagar alam, dan zona inti taman nasional;

b). hutan lindung; atau

c). hutan produksi.

Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan pada hutan lindung, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan bukan kayu. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan pada hutan produksi, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu (hasil tanaman) dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.

Menteri menetapkan areal kerja hutan kemasyarakatan atas usulan bupati/walikota berdasarkan permohonan masyarakat setempat sesuai rencana pengelolaan yang disusun oleh kepala KPH atau pejabat yang ditunjuk. Berdasarkan penetapan areal kerja :

a). Menteri, memberikan IUPHHK dalam hutan kemasyarakatan pada areal kerja hutan kemasyarakatan,

b). Gubernur, pada areal kerja hutan kemasyarakatan lintas kabupaten/kota yang ada dalam wilayah kewenangannya dan bupati/walikota, pada areal kerja hutan kemasyarakatan yang ada dalam wilayah kewenangannya memberikan izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan.

Izin usaha pemanfaatan hutan diberikan kepada kelompok masyarakat setempat. Sedangkan IUPHHK dalam hutan kemasyarakatan diberikan kepada kelompok masyarakat setempat yang berbentuk koperasi. Gubernur yang dinilai siap secara kelembagaan dapat dilimpahkan oleh Menteri untuk memberikan IUPHHK HKm.

Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan diberikan dengan jangka waktu selama 35 tahun. Kewajiban pemegang izin usaha pemanfaatan HKm adalah melaksanakan pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari.

Sementara kewajiban pemegang IUPHHK dalam HKm adalah:

a). Dikenakan DR;

b). Menyusun rencana kerja IUPHHK dalam HKm selama berlakunya izin;

c). Melaksanakan penataan batas IUPHHK dalam HKm;

d). Melakukan perlindungan hutan; atau

e). Melaksanakan penatausahaan hasil hutan.

Sedangkan, larangannya adalah penggunaan untuk kepentingan lain di luar rencana pengelolaan. Izin usaha pemanfaatan hutan HKm maupun IUPHHK dalam HKm dilarang untuk dipindahtangankan dan diagunkan serta merubah status dan fungsi kawasan hutan.

2.2 Pengelolaan Hutan dan Hutan Kemasyarakatan

Pengeloban Hutan Selama lebih dari tiga dekade, hutan Indonesia telah memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian nasional. Nwnun kondisi hutan Indonesia saat ini begitu memprihatinkan dan sangat berbeda dengan awal pemanfaatannya pada tahun 1970 an. Kondisinya telah memburuk baik secara, kualitas maupun kuantitas sehingga tidak lagi menjadi penopang perekonomian nasional yang kuat (Wardojo, 2004 disitasi oleh Siswanty et.al., 2004). Selama ini, pengelolaan hutan dirasakan belum optimal. Menurut Rahardjo dan Isnaini (2006) keterbatasan yang dimiliki pemerintah seperti kurangnya tenaga lapangan, sarana, prasarana dan dana, telah menyebabkan pemerintah mengalami kesulitan mengelola sendiri hutan yang sangat luas tersebut dan pemerintah juga kurang menempkan pengelolaan kawasan secara partisipatif dan kurang transparan, serta rendahnya aspek akuntabilitas pengelolaan.

Pengelolaan hutan seringkali bersinggungan dengan berbagai kepentingan diantaranya adalah kepentingan masyarakat adat/lokal. Banyak kebijakan yang diambil pemerintah dirasakan kurang berpihak kepada masyarakat khususnya masyarakat di sekitar kawasan hutan dan masyarakat yang telah lama menetap di dalam kawasan hutan tersebut. Hal di atas menyebabkan konflik tidak terelakkan ketika kepentingan antara pemerintah yang berusaha untuk selalu menjaga ftmgsi konservasi hutan dengan masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hutan bersinggungan. Menurut Arsyad dan Rahardjo (2004) kegagalan pengelolaan hutan karena kebijakan yang timpang tindih satu dengan lainnya dan masyarakat lokal yang kurang dan tidak dilibatkan dalam pengelolaan, belum ada kesepakatan cara mengelola hutan dan ketidakielasan kewenangan ditingkat lapangan. Pengelolaan hutan yang sentralistik juga diyakini kurang efektif sehingga harus diubah menjadi desentralistik dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama (Cahyaningsih, at at., 2006). Dan untuk mewujudkan rasa keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan hutan dan menyelesaikan konflik maka pengelolaan kolaboratif merupakan solusi yang diambil Departemen Kehutanan (Anonim, 2004). Sejalan dengan kebijakan Departemen Kehutanan, maka telah dilakukan berbagai pendekatan dalam pengelolaan kawasan hutan. Menurut Arsyad dan Rahardjo. (2004) pengelolaan berbasis multi pihak merupakan sebuah pendekatan yang efektif dalarn pengelolaan sumber daya alam. Salah satu program pemerintah yang pada prinsipnya menerapkan pendekatan berbasis multi pihak tersebut adalah kegiatan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Program ini mulai ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor. 622/Kpts II/1995 tentang Hutan Kemasyarakatan yang kemudian disempumakan lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.37/Menhut MOO7. Pola, HKm ini juga sejalan dengan Kebijakan Departemen Kehutanan periode 2005 2009 yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 456/Menhut VII/2004 yang salah satunya adalah Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di dalam dan di Sekitar Hutan (Anonim, 2005).

2.3 Manfaat Hutan Kemasyarakatan (HKm)

Menurut Cahyaningsih et al. (2006) ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh bagi masyarakat, pemerintah dan terhadap fungsi hutan yaitu:

1. Bagi Masyarakat, HKm dapat: (a) memberikan kepastan akses untuk turut mengelola kawasan hutan, (b) menjadi sumber mata pencarian, (c) ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk rumahtangga dan pertanian terjaga, dan (d) hubungan yang baik antara pemerintah dan pihak terkait lainnya.

2. Bagi pemerintah, HKm dapat: (a) sumbangan tidak langsung oleh masyarakat melalui rehabilitasi yang dilakukan secara swadaya dan swadana, dan (b) kegiatan HKm berdampak kepada pengamatan hutan.

3. Bagi fungsi butan dan restorasi habitat (a) terbentuknya keaneka ragaman tanman, (b) terjaganya fungsi ekologis dan hidro orologis, melalui pola tanam campuran dan teknis konservasi lahan yang diterapkan, dan (c) menjaga kekayaan alam flora dan fauna yang telah ada sebelumnya.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Gunungkidul

Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan program pemerintah dalam usahanya untuk memberdayakan masyarakat dalam memanfaatkan hutan negara. Salah satu lokasi untuk pengembangan HKm adalah Provinsi DI Yogyakarta. Luas hutan di Propinsi DIY menurut Keputusan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan No. 188.4/3710 tanggal 22-10-2003 adalah 18.044,9670 ha atau 5,6 % dari luas Propinsi DIY. Hutan tersebut tersebar di empat wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kulonprogo.

Hutan negara di Gunungkidul memiliki luasan terbesar bila dibandingkan dengan hutan negara di kabupaten lainnya di DIY. Berdasar data terbaru yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Propinsi DIY 2003, luasan hutan negara di Gunungkidul adalah 14.224,877 ha. Luasan ini kemudian terbagi ke dalam beberapa fungsi hutan sebagai berikut: hutan lindung (254,9 ha), hutan produksi (12.208,48 ha), suaka margasatwa (434,60 ha), hutan AB (991,447 ha), HDTK tahura (617 ha), HDTK Wanagama (599,90 ha), dan hutan penelitian (130 ha) (Sumber: Rencana Pengelolaan Hutan DIY (2005).

Luasan hutan negara yang ada di Propinsi DIY, telah dicadangkan sebagai areal Hutan Kemasyarakatan (HKm) seluas 4.186,4 ha di Kabupaten Gunungkidul dan 203,00 ha di Kabupaten Kulonprogo. Tabel berikut menyajikan luasan areal HKm yang dicadangkan pada tiap Bagian daerah Hutan (BDH): Paliyan (2.047,90 ha), Playen (617,80 ha), Panggang (943,70 ha), Karangmojo (577 ha), dan Kulonprogo (203 ha) (Sumber: Rencana Pengelolaan Hutan DIY, 2005)

Kriteria utama yang digunakan untuk menetapkan areal HKm dan menjadi prioritas dicadangkan adalah:

1. Kawasan hutan yang benar-benar sedang dikelola atau diusahakan oleh masyarakat setempat.

2. Sebagian besar masyarakatnya memanfaatkan hasil hutan baik langsung (kayu dan non kayu) maupun tak langsung seperti air dan kesegaran udara.

3. Kawasan hutan yang sedang diklaim masyarakat setempat.

4. Masyarakat telah mengajukan permohonan Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm).

5. Kawasan hutan yang rawan karena permasalahan sosial ekonomi, antara lain perambahan, pencurian hasil hutan, kebakaran hutan, dan adanya konflik dengan pihak lain.

Pengembangan HKm di DIY sudah sampai pada pemberian izin definitif (IUPHKm) oleh bupati. Sampai saat ini, lahan HKm yang telah dikerjakan oleh masyarakat sekitar hutan dan sudah mendapatkan ijin tetap seluas 1.089,95 ha (26,48 %) Kabupaten Gunungkidul dan seluas 196,8 ha (96,94 %) di Kabupaten Kulonprogo dari luasan areal yang dicadangkan. Izin Pemanfaatan HKm (IUPHKm) tersebut dikeluarkan oleh bupati dan diperuntukkan kepada 35 kelompok tani HKm di Gunungkidul dan 7 kelompok tani HKm Kulonprogo.

Izin definitif HKm merupakan langkah awal dimulainya proses-proses produksi di areal HKm seperti tebangan penjarangan dan pengaturan hasil kayunya yang merupakan implementasi rencana kelolanya. Selanjutnya, saat ini sudah disiapkan replikasi untuk perluasan HKm pada sisa areal pencadangan HKm yang belum dikelola seluas 3.100 ha. Identifikasi dan penataan kawasan perluasan HKm sedang disiapkan dan dilakukan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) XI. Sedangkan fasilitasi rencana kelola dilakukan oleh LSM Shorea dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul.

Kebutuhan benih unggul diareal HKm juga sedang disiapkan dengan membangun sumber benih di salah satu kelompok HKm yang merupakan kerjasama antara Fakultas Kehutanan UGM, Javlec, dan Shorea. Kebun benih rakyat ini nantinya diharapkan bisa memproduksi bibit-bibit unggul untuk memenuhi kebutuhan HKm, kebutuhan hutan milik, dan bahkan sebagai salah satu bisnis kelompok HKm untuk suplier benih unggul.

Dalam mempersiapkan IUPHHK HKm maka kelompok tani HKm mendirikan koperasi atau bergabung dengan koperasi yang sudah ada di daerah terdekat. Dari 35 kelompok tani HKm di Gunungkidul tersebut bergabung menjadi 7 koperasi. Sedangkan di Kulon progo masing-masing kelompok tani mendirikan koperasi.

Jaringan Komunikasi HKm di Yogyakarta telah terbangun mulai dari level BDH/kecamatan, level kabupaten, sampai level propinsi. Forum komunikasi tersebut membantu fasilitasi KTHKm yang dilakukan Pemerintah, dan meningkatkan peran serta KTHKm dalam pengurusan hutan. Sedang pada level propinsi beberapa hal yang berkaitan dengan penguatan dan pengembangan dilakukan oleh POKJA HKm DIY. Saat ini sudah terbentuk beberapa forum HKm seperti forum BDH Playen, forum BDH Panggang, forum BDH Paliyan, dan forum HKm Kulonprogo.

Beberapa LSM melakukan pendampingan kelompok tani HKm, pelatihan, asistensi teknis dan administrasi, serta membantu instansi teknis kehutanan dalam melakukan fasilitasi penyelenggaraan HKm. Pendampingan kelompok tani HKm di Gunungkidul dilakukan oleh LSM Shorea dan partner yang tergabung dalam Konsorsium Pengembangan HKm.

Salah satu yang terpenting pasca penerimaan izin definitif HKm adalah segera dilakukan pengajuan usulan untuk melakukan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayunya (IUPHHK). Hal ini memang diatur dalam PP 06/2007 dimana kelompok yang sudah menerima izin definitif HKm diharuskan mengajukan izin lagi jika ingin melakukan pamanfaatan kayu (penebangan) sesuai dengan rencana kelola dan siklus daurnya. Oleh karenanya pengawalan, pendampingan dari semua pihak, dan assistensi dalam kerangka untuk meningkatkan profesionalisme pengelolaan HKm oleh kelompok masyarakat masih tetap diperlukan.

3.2 Wahana Multipihak Pengembangan HKm Gunungkidul

Program Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan program pemerintah yang tidak sekedar memberikan alternatif agar masyarakat sekitar hutan dapat mengelola hutan. Melainkan juga memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada masyarakat untuk bersama-sama dengan berbagai pihak mengelola sumberdaya hutan secara penuh. Agar nantinya dapat tercapai kesejahteraan rakyat dengan senantiasa memperhatikan upaya pelestarian alamnya. Berdasarkan hal tersebut di atas, pengembangan HKm meliputi: a) pemerataan pembangunan, b) mengembangankan partisipasi masyarakat, c) mewujudkan kemandirian dan melaksanakan desentralisasi, d) perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam, dan e) keberhasilan fungsi dan manfaat hutan.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah digariskan tersebut, maka pengembangan HKm mengacu pada kebijakan umum. Pertama, HKm merupakan sistem pengelolaan hutan mencakup semua dimensi atau aspek secara komprehensif. Meliputi aspek penataan dan perencanaan, pemanfaatan hutan (kayu dan non kayu, termasuk lingkungan) dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan lahan dalam rangka memulihkan dan meningkatkan produktivitas, serta perlindungan dan konservasi hutan dan lahan. Jadi HKm tidak hanya membicarakan perlakuan pengelolaan hutan secara parsial, seperti pemanfaatan, rehabilitasi, atau konservasi hutan saja.

Kedua, pengembangan HKm melalui sistem pengelolaan yang komprehensif, tidak mengubah status fungsi tetapi hanya memberikan hak dan tanggung jawab mengelola hutan di areal yang telah ditetapkan pada suatu kelembagaan pengelolaan HKm. Kelembagaan HKm merupakan legitimasi pencadangan kawasan, struktur kemitraan, struktur manajemen hutan, manajemen usaha, penyediaan modal, dan sistem pendukung lainnya.

Ketiga, di dalam kelembagaan yang dimaksud melekat tugas, tanggung jawab, dan hak masing-masing pihak/mitra yaitu masyarakat, pemerintah (pusat dan daerah) serta pihak lainnya. Pengembangan kelembagaan merupakan proses transformasi dari sistem yang ada dan dilakukan secara bertahap. Dengan demikian, pengembangan HKm merupakan program jangka panjang yang melengkapi dan memperkuat pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM).

Tujuan akhir program HKm untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya hutan dan kesejahteran masyarakat. Khususnya kesejahteraan yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan yang penghidupannya bergantung pada kegiatan-kegiatan berbasis sumberdaya hutan. Untuk mencapai tujuan tersebut kebijakan ini diharapkan dapat membangkitkan kegiatan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Kedua mempercepat rehabilitasi hutan dengan mendayagunakan semua sumberdaya pembangunan yang ada, baik masyarakat, pemerintah dan dunia usaha dalam kelembagaan kemitraan pengelolaan hutan. Selanjutnya juga kebijakan itu dapat meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat (formal dan non formal) dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan.

Program HKm di Kabupaten Gunungkidul telah dilaksanakan oleh 35 kelompok tani hutan seluas 1.087,5 Ha sejak tahun 1995. Di dalam pelaksanaannya menunjukkan suatu prospek positif baik dari sudut pandang pemerintah maupun masyarakat di sekitar kawasan hutan negara. Selama hampir sepuluh tahun lebih pelaksanaan HKm tersebut banyak ditemui kendala yang dihadapi oleh pemerintah maupun masyarakat pengelola HKm. Kendala tersebut dapat dirasakan khususnya tentang kesiapan kelembagaan kelompok tani pengelola, teknis pengelolaan lahan, dan kendala pengembangan usaha kelompok.

Sehingga dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan HKm, kelompok tani membutuhkan pendampingan dan fasilitasi. Tentunya juga memfasilitasi sisi pemasaran hasilnya. Pendampingan ini tentunya melibatkan pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pendampingan tersebut meliputi teknis pengelolaan lahan dan administrasi kelembagaan dan organisasi menuju koperasi berbadan hukum. Pendampingan ini juga untuk meningkatan kualitas SDM petani dan membantu menyusun rencana kelola jangka pendek, menengah, dan panjang. Selanjutnya juga agar kelompok dapat mengolah hasil hutan dengan teknologi tepat guna agar nantinya dapat mengembangkan usaha kelompok yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam jangka waktu tertentu.

Selain menjalankan fungsi pendampingan intansi terkait tersebut juga memfasilitasi mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan kelompok dengan melibatkan berbagai pihak. Semua agar terjadi suatu rencana dan pelaksanaan pengelolaan HKm secara sinergis, terencana, dan berkelanjutan. Oleh karena itu, agar memperlancar kegiatan tersebut maka dibentuklah wadah yang memilki fungsi koordinasi, fasilitasi, dan mediasi dari tingkat paling rendah sampai tingkat atas. Wadah tersebut tentunya perlu diwujudkan dan difungsikan secara optimal. Wadah tersebut adalah forum komunikasi HKm baik di tingkat kabupaten maupun kecamatan atau Bagian Daerah Hutan (BDH).Dalam sejarahnya Forum Komunikasi HKm tingkat Bagian Daerah Hutan (FKBDH) berawal dari pembentukkan Forum Komunikasi HKm tingkat kabupaten pada tahun 1999. Hanya saja karena forum tingkat kabupaten tersebut menghadapi berbagai kendala sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Kemudian muncullah ide untuk membentuk forum komunikasi di tingkat BDH. Pembentukkan FKBDH ini bermasksud agar fungsi komunikasi dan kooordinasi tetap berjalan dan tentunya lebih mengefesienkan kinerja forum. Kelompok tani akan lebih mudah melakukan koordinasi, konsultasi, dan mediasi dengan berbagai pihak di forum tingkat BDH tersebut.

FKBDH tersebut beranggotakan perwakilan kelompok di wilayah BDH, pihak kecamatan, pihak desa, perwakilan dusun, tokoh masyarakat, serta pihak-pihak terkait. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi FKBDH semestinya menampung segala aspirasi dari berbagai pihak dalam merumuskan dan memecahkan permasalahan- permasalahan yang dihadapi. Perumusan tersebut kemudian dikoordinasikan dan disampaikan ke forum yang lebih tinggi untuk digodog lebih matang. Hasil rumusan tersebut nantinya akan ditindaklanjuti dan diselesaikan di tingkat bawah. Secara keseluruhan koordinasi ini berawal dari forum tingkat kabupaten sampai pada tingkat BDH/kecamatan.

Kegiatan-kegiatan forum itu juga seharusnya dilaksanakan secara rutin. Agar saat ditemui kendala maupun hal terkait dengan kemajuan dan peningkatan pelaksanaan HKm dapat segera ditindaklanjuti. Sehingga kegiatan pengelolaan HKm menjadi lebih sinergis dan baik, baik di tingkat BDH maupun kabupaten. Untuk itu peran dari pemerintah desa dan kecamatan menjadi penting karena pihak tersebut yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Kedua pihak tersebut dinilai memiliki data dan lebih mengerti kondisi potensi dan permasalahan yang dihadapai masyarakat di wilayah masing-masing. Dengan dukungan tersebut nantinya akan lebih mempermudah koordinasi untuk memecahkan solusi permasalahan, peningkatan SDM dan lainnya berjalan lebih efektif, efesien, dan tepat sasaran.

Pengelolaan kawasan hutan merupakan suatu kegiatan yang strategis karena melibatkan masyarakat dan berbagai pihak terkait dengan kawasan hutan luasan tertentu dan tersebar. Agar pengelolaan HKm dapat berjalan dengan baik dan berhasil maka pengelolaan HKm harus terencana secara sinergis, terpadu, dan melibatkan banyak pihak. Dengan demikian dengan tumbuh kembangnya Forum Komunikasi Tingkat BDH diharapkan pengelolaan HKm dapat berdaya guna dan berhasil guna bagi masyarakat. Selanjutnya sumberdaya hutan, air, dan tanah dapat dikelola secara berkelanjutan. Serta secara ekonomi dapat membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar kawasan hutan. Pada akhirnya tujuan kelestarian fungsi sosial ekonomi dan lingkungan dapat tercapai.

3.3 Peran Desa dalam HKm di Gunung Kidul

Terbitnya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Otda/Otonomi Daerah) dipahami sebagai upaya serius elite-elite politik untuk mendorong kemandirian pemerintahan daerah, dari tingkat propinsi hingga tingkat desa. Dengan segala kelemahannya, setelah UU Otda ini dijalankan ternyata telah memberikan peluang yang cukup besar bagi tumbuhnya otonomi dan demokratisasi di desa. UU Otda juga memberikan harapan tumbuhnya pemerintahan yang otonom di tingkat pemerintahan desa dan tatanan kehidupan masyarakat desa yang demokratis. Yang paling nyata adalah UU Otda membuka kesempatan pada desa untuk membangun pilar Pemerintahan Desa yaitu badan legislasi desa yang disebut BPD (Badan Perwakilan Desa). Melalui pembentukan BPD dapat memberikan peluang pada masyarakat untuk belajar mewujudkan demokratisasi di desa. Belum sampai peluang ini termanfaatkan, kini UU No. 22/1999 telah direvisi menjadi UU No.32/2004 dan peran BPD dihilangkan. Ini berarti dihilangkanlah pula peran legislasi desa (BPD) sebagai elemen strategis berkembangnya demokratisasi dan otonomi desa dalam bidang pemerintahan.

Desa ditempatkan sebagai korban para pejabat supra desa. Pada kasus-kasus pengelolaan sumber daya alam yang ada di desa, desa hanya dijadikan lokasi objek pembangunan, atau desa hanya dijadikan lokasi objek industri yang berkembang. Contoh yang paling konkret adalah kasus pertambangan batu putih di Kabupaten Gunungkidul. Investor dan pemerintah daerah mendapatkan keuntungan dari hasil pengerukan sumber daya alam batu kapur itu, akan tetapi masyarakat desa dan lingkungan hanya bisa melihat perpindahan sumber daya alam ke kota - besar atau di ekspor ke negara lain.

Dalam pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Gunungkidul, masyarakat desa yang diwakili oleh pemerintah desa juga tidak mempunyai peran dan kewenangan apapun. Selama ini peran pemerintah desa hanya sekadar sebagai penjamin legalisasi keberadaan kelompok tani dalam persyaratan pengajuan izin HKm. Desa tidak lebih sebagai bagian birokrasi yang harus dilewati untuk mendapatkan cap pengesahan dalam proses pengajuan Izin HKm sebagaimana diatur dalam pasal 12 SK Menhut No 31/2001. Selain itu, dalam banyak hal pemerintahan desa (pemerintah desa dan badan perwakilan desa) miskin informasi tentang HKm dan manfaatnya bagi masyarakat desa bersangkutan. Padahal bila dilihat perkembangannya di lapangan, peran desa dalam HKm sangatlah bisa dikembangkan. Pemerintah desa dapat menjadi mediator dan penengah dari beberapa konflik horizontal yang terjadi pada masyarakatnya. Ini bisa dimengerti karena pemerintah desa memiliki hubungan emosional yang paling dekat dengan kelompok tani.

Pada era desentralisasi, gagasan untuk membangun desentralisasi pembangungan dan kewenangan politik dalam pengelolaan HKm terus dibicarakan masyarakat desa. Salah satu bentuk desentralisasi desa adalah desa mampu membangun kebijakan tingkat desa yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Dalam konteks HKm, sumbangsih yang cukup strategis dari pemerintah desa untuk berperan serta dalam menyukseskan HKm adalah melahirkan produk hukum berupa Peraturan Desa (Perdes) yang mengatur HKm di tingkat desa. Kebutuhan akan adanya Perdes sangat diperlukan karena di beberapa kelompok tani HKm anggotanya berasal dari beberapa desa yang berbeda. Geliat inilah yang terjadi di lima desa di Kabupaten Gunungkidul yakni Desa Ngeposari Kecamatan Semanu, Desa Girisuko Kecamatan Panggang, Desa Banyusoco Kecamatan Playen, Desa Bleberan Kecamatan Playen, dan Desa Karangduwet Kecamatan Paliyan.

Dalam hal ini, kebijakan desa yang bagaimanakah yang perlu dibangun dan di dorong dalam usahanya mendukung HKm. Apa yang perlu diatur dalam Perdes nantinya?. Pertanyaan ini patut dipikirkan dan dicarikan jawabannya. Apakah mungkin Perdes itu mengatur tentang pengelolaan HKm-nya yang dikelola oleh kelompok tani. Untuk saat ini saya kira tidak mungkin. Hal ini bisa dijelaskan bahwa undang-undang yang ada dan mengatur tentang kewenangan desa belum sampai ke situ. Ini diperkuat dengan kenyataan bahwa yang masih memegang peranan penting dalam pengelolaan HKm selama ini adalah pemerintah pusat. Kewenangan politik desa pada kawasan hutan negara di Gunungkidul masih minim bahkan dapat dikatakan tidak ada.

Kawasan hutan negara yang ada dengan luas kurang lebih 13.000 ha dikuasai oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY termasuk HKm di dalamnya. Dalam pemanfaatannya, penggunaan kawasan hutan negara masih ditentukan oleh pemerintah pusat. Hal ini diperkuat lagi pada aspek legal formal bahwa pengelolaan HKm selama ini masih menggunakan sandaran hukum SK Menhut No 31/2001 tentang penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Dalam hal pemberian izin pengelolaan kepada kelompok tani, Menteri Kehutanan memberikan rekomendasi kepada Gubernur untuk memberikan izin sementara. Selanjutnya Gubernur memberikan rekomendasi kepada Bupati untuk memberikan izin sementara pengelolaan HKm kepada kelompok tani. Kemudian dalam pelaksanaannnya di lapangan, izin sementara pengelolaan HKm oleh kelompok tani di atur dan dikeluarkan oleh Bupati Gunungkidul dengan SK No. 213/Kpts/2003 tentang Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan Kabupaten Gunungkidul. Dengan demikian segala aturan main dalam pengelolaan HKm yang mengikat antara kelompok tani dan pemerintah diatur dalam SK Bupati tersebut.

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa kewenangan desa dalam hutan negara belum ada. Lalu dimana peran Perdes dalam pengelolaan HKm? Apa yang perlu diatur dalam Perdes tersebut?

Peran pemerintah desa sebenarnya lebih ditekankan tentang aturan main yang berada di luar koridor pengelolaan HKm yang telah diatur oleh SK Bupati No.213/Kptas/2003. Perdes yang dilahirkan tidak boleh mengatur hal yang sama dengan yang diatur dalam SK Bupati tersebut. Tentang bagi hasil misalnya, dalam SK Bupati sudah diatur bahwa bagi hasil antara KTH dengan pihak pemerintah adalah 60:40. Maka dalam Perdes, hal yang mengatur bagi hasil pengelolaan HKm tersebut tidak boleh ada. Perdes hanya boleh mengatur tentang bagi hasil dari bagian yang diterima oleh KTH. Itu berarti bagian yang 60 % yang diterima KTH akan dibagi lagi antara pemerintah desa dan KTH sesuai kesepakatan dari penjaringan aspirasi masyarakat dan besarnya peran dan tanggung jawab masing-masing pihak. Untuk kasus Desa Ngeposari Semanu misalnya, 60 % yang diterima KTH bila diibaratkan 100 % akan dibagi lagi menjadi 68 % untuk penggarap, 10 % untuk desa, 20 % untuk KTH dan 2 % persen untuk cadangan sosial.

Ruang lingkup dari Perdes yang lain misalnya berisi tentang bagaimana mengatur perilaku dan tindakan para pengelola HKm, warga desa dalam pengelolaan HKm baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Terutama yang berkaitan dengan pengawasan dan keamanan lokasi HKm. Di Desa Girisuko Panggang, salah satu isi draf Rancangan Peraturan Desa (Raperdes) berisi tentang pembatasan perilaku warga untuk tidak merusak kawasan dan kayu HKm. Jika terjadi pengrusakan atau pencurian yang dilakukan oleh warga Desa Girisuko maka sanksi pelanggaran diterapkan oleh pemerintah desa dengan berkoordinasi kelompok pengelola HKm. Secara garis besar, draf Raperdes tentang HKm di lima desa tersebut mengatur tentang pengawasan dan keamanan pengelolaan HKm, pemberdayaan kelompok HKm dengan dukungan pemerintah desa, dan aturan bagi hasil antara pemdes dengan kelompok pengelola dari hasil bagian yang diterima kelompok.

Wujud akhir peran desa berupa perdes merupakan bukti bahwa kelompok tani HKm tidak bekerja sendiri dalam mengelola HKm. Hampir semua pihak di Propinsi DIY mendukung untuk suksesnya HKm. Mulai dari POKJA HKM DIY yang merupakan gabungan dari para stakeholder di Yogyakarta (Dawam, Kedaulatan Rakyat 13 Februari 2006), pemerintah daerah, sampai pada pemerintah desa. Hanya satu yang menjadi kendala bagi kelompok untuk mengelola HKm yakni rekomendasi dari Menteri Kehutanan untuk kepastian izin pengelolaan jangka panjang.

BAB IV

KESIMPULAN dan SARAN

4.1 Kesimpulan

PROGRAM Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan program pemerintah yang tidak sekedar memberikan alternatif agar masyarakat sekitar hutan dapat mengelola hutan. Melainkan juga memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada masyarakat untuk bersama-sama dengan berbagai pihak mengelola sumberdaya hutan secara penuh. Agar nantinya dapat tercapai kesejahteraan rakyat dengan senantiasa memperhatikan upaya pelestarian alamnya. Berdasarkan hal tersebut di atas, pengembangan HKm meliputi:

a) pemerataan pembangunan,

b) mengembangankan partisipasi masyarakat,

c) mewujudkan kemandirian dan melaksanakan desentralisasi,

d) perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam, dan

e) keberhasilan fungsi dan manfaat hutan.

Program HKm juga telah berupaya mengalihkan dari yang masyarakat memandang hasil hutan itu adalah kayu dan sekarang masyarakat harus bisa bahwa orientasi hutan itu bukan kayu saja malah ada hasil bukan kayu yang sangat memilii potensi tinggi.

4.2 Saran

Keterbatasan yang dimiliki pemerintah telah menyebabkan pemerintah mengalami kesulitan mengelola sendiri hutan, sehingga. muncul kesadaran bahwa. pembangunan kehutanan harus melibatkan semua pihak dan bertumpu kepada. masyarakat, khususnya masyarakat adat atau lokal yang selama ini berinteraksi langsung dan menggantungkan hidupnya dari hutan dan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pengelolaan sumber daya hutan. Maka perlua adanya pemberian kepercayaan terhadap masyarakat untuk bisa mengelola hutan secara lestari, namun perlu juga adanya komunikasi dan pembimbingan yang dipasilitasi oleh LSM ataupun stakholder terkait guna mendapatkan hasil yang maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Murbani, 2006, Kasubdin Kehutanan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul.

Wiyono Eko B, 2006, Peran Desa dalam Hutan Kemasyarakatan, Yayasan SHOREA, artikel, Yogya.

Bakhtiar Irfan, 2009, Hutan Kemasyarakatan dan Harapan Masyarakat Pinggir Hutan, artikel, Yogya.

Waznah, 2006, Program Pasca Sarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, Tesis, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Bengkulu.


laurio leonald konservasi sumberdaya hutan fahutan uniku 2009

selengkapnya >>

pdrb nunukan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kekayaan sumber daya alam di Indonesia secara ekonomis sangat potensial untuk dikembangkan dan dikelola secara maksimal dan menjadi sebuah tantangan besar yang perlu mendapatkan perhatian yang serius, dimana hal tersebut dapat berdampak pada keterancaman kelestarian lingkungan, selain aktifitas pihak pengembang yang terkadang mengabaikan pentingnya upaya pemberdayaan masyarakat (Community Development) sehingga laju kerusakan hutan semakin tinggi. Laju kerusakan hutan di Indonesia sesudah reformasi justru jauh lebih cepat dibandingkan dengan era sebelumnya. Saat ini, hutan hampir menjadi cerita dongeng untuk generasi mendatang, sehingga dengan kondisi hutan yang sangat menyedihkan serta lembaga-lembaga kehutanan yang tidak mempunyai kekuatan dalam menahan laju kerusakan ini, apapun akan dilakukan dalam upaya menyelamatkan pohon terakhir yang tersisa di hutan Indonesia. Suatu upaya yang dihasilkan dari berbagai perpaduan teori yang berkembang yang nantinya diharapkan dapat menjadi winning solution dan jalan keluar bagi berbagai kondisi masalah kehutanan yang dihadapi sekarang.
Pada dasarnya, keberlanjutan (sustainability) selayaknya menjadi sebuah paradigma pembangunan yang harus tetap diupayakan demi terciptanya sebuah keseimbangan antara kepentingan ekonomi, lingkungan dan masyarakat yang merupakan satu kesatuan secara utuh, dalam hal ini eksplorasi potensi sebuah wilayah secara menyeluruh menjadi sangat penting. Pengelolaan hutan di masa yang akan datang harus sejalan dengan arah pembangunan kehutanan di abad 21 yang telah bergeser dari orientasi ekonomi ke arah pembangunan kehutanan yang berorientasikan pada resource and community based development, yang dijabarkan sebagai berikut : (1) Perubahan orientasi produksi kayu dari hutan alam ke hutan tanaman; (2) Perubahan orientasi dari hasil hutan kayu ke hasil hutan non kayu dan jasa; (3) Pergeseran pola pengusahaan hutan dari konglomerasi ke peningkatan peran masyarakat; (4) Perubahan bentuk pengelolaan hutan dari optimasi produksi log ke optimasi fungsi hutan; dan (5) Pergeseran kewenangan pengelolaan hutan dari sentralisasi ke desentralisasi.
Sejak diberlakukan otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada UU Nomor 22 tahun 1999 disempurnakan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 disempurnakan UU Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah dengan Sistem Pemerintahan Desentralisasi maka segala urusan kebijakan regional diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah. Undang-undang tersebut merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintah yang\ sesungguhnya. Otonomi Daerah mengindikasikan bahwa rakyat menghendaki keterbukaan dan kemandirian (desentralisasi). Maraknya globalisasi yang menuntut daya saing tiap negara, termasuk daya saing pemerintah daerahnya, diharapkan akan tercapai melalui peningkatan kemandirian pemerintah daerah. Pemerintahan daerah berhak dan bertanggung jawab untuk mengelola rumah tangganya sendiri, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan publik agar lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan, potensi maupun karakteristik di daerah masingmasing. Dalam pengaturan urusan pemerintahannya, pemerintah daerah haruslah berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Pembangunan suatu daerah dapat berhasil dengan baik apabila didukung oleh suatu perencanaan yang mantap dan relevan sebagai dasar penentuan strategi, pengambilan keputusan dan evaluasi hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Dalam menyusun perencanaan pembangunan yang baik perlu menggunakan data statistik yang memuat informasi tentang kondisi sebenarnya suatu daerah pada saat tertentu, sehingga kebijaksanaan dan strategi yang telah atau akan diambil dapat dimonitor dan dievaluasi hasil-hasilnya. Salah satu indikator ekonomi makro yang biasanya digunakan untuk mengevaluasi hasil-hasil pembangunan di suatu daerah dalam lingkup kabupaten dan kota adalah Produk Domestik Regional Bruto atau PDRB kabupaten/kota menurut lapangan usaha (Industrial Origin).

1.2 Tujuan
1. Ingin mengetahui seberapa besar PDRB daerah Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur dilihat dari sektor Kehutanan selama lima tahun.
2. Ingin mengetahui bagaimana laju pertumbuhan PDRB daerah Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur dilihat dari sektor Kehutanan selama lima tahun.
3. Ingin mengetahui Struktur Perekonomian Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur

1.3 Rumusan Masalah
1. Seberapa besarkah sektor kehutanan memberikan pemasukan terhadap PDRB daerah Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur selama lima tahun ?
2. Bagaimanakah laju pertumbuhan PDRB daerah Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur selama lima tahun ?
3. Bagaimana Struktur Perekonomian Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur ?



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Produk Domestik Regional Bruto
Untuk menjaga keseragaman konsep, definisi, dan metode yang dipakai di seluruh Indonesia, Badan Pusat Statistik secara langsung maupun tidak langsung memberikan bimbingan teknis dan pengarahan yang diperlukan. Hal tersebut dilakukan karena secara teori PDRB tidak dapat dipisahkan dari Produk Domestik Bruto (PDB) baik dari segi konsep, definisi, metodologi, cakupan, maupun sumber datanya. Hal ini untuk menjaga kelayakan dan konsistensi hasil penghitungan PDRB antara kabupaten/kota dan propinsi maupun antara propinsi dan nasional. Untuk mempermudah melakukan studi perbandingan dan analisis-analisis lainnya, maka tahun\ dasar yang dipakai di tingkat nasional telah pula diterapkan secara serentak oleh seluruh propinsi dan kabupaten/kota.
Untuk memperoleh seri PDRB yang cukup panjang dan up to date, perbaikan penghitungan PDRB perlu dilakukan setiap tahun sesuai dengan perkembangan dan kelengkapan data yang tersedia di setiap kabupaten/kota. Sesuai dengan penyajian data nasional, PDRB Kabupaten Nunukan juga dipisahkan menurut PDRB dengan dan tanpa Migas (minyak, gas dan hasil-hasilnya meliputi minyak bumi, gas bumi, gas alam cair dan hasil industri pengolahan minyak). Dengan demikian kontribusi Migas dapat terlihat dengan jelas pada perubahan struktur ekonomi maupun pada laju pertumbuhan ekonomi.
PDRB merupakan jumlah nilai tambah atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah dalam satu kurun waktu. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada kurun waktu tersebut, sedang PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai dasar, yang selanjutnya disebut sebagai tahun dasar. PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedang PDRB atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Untuk menghitung PDRB ada tiga pendekatan yang digunakan, yaitu:
o Jika ditinjau dari sisi produksi disebut Produk Regional, merupakan jumlah nilai tambah (produk) yang dihasilkan oleh unit-unit produksi yang dimiliki penduduk suatu daerah dalam jangka waktu tertentu.
o ika ditinjau dari sisi pendapatan disebut Pendapatan Regional, merupakan jumlah pendapatan (balas jasa) yang diterima oleh faktorfaktor produksi berupa upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tak langsung neto yang dimiliki penduduk suatu daerah dalam jangka waktu tertentu.
o Jika ditinjau dari segi pengeluaran disebut Pengeluaran Regional, merupakan jumlah pengeluaran konsumsi atau komponen permintaan akhir yang dilakukan oleh rumahtangga, lembaga swasta nirlaba, pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan stok dan ekspor neto (selisih ekspor terhadap impor) suatu daerah dalam jangka waktu tertentu.

3.2 Agregat PDRB
o Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Pasar adalah jumlah nilai tambah bruto dari seluruh sektor ekonomi yang ada di suatu wilayah, jika nilainya dikurangi penyusutan akan sama dengan:
o Produk Domestik Regional Neto (PDRN) Atas Dasar Harga Pasar. Jika nilai ini dikurangi pajak tidak langsung yang dipungut oleh pemerintah dan subsidi yang diberikan oleh pemerintah kepada unit-unit produksi (pajak tak langsung neto) akan sama dengan:
o Produk Domestik Regional Neto Atas Dasar Biaya Faktor. Nilai ini merupakan jumlah balas jasa faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi. Jika nilai ini dikurangi dengan pendapatan yang masuk dan ditambah dengan pendapatan yang mengalir ke luar wilayah, akan diperoleh Produk Regional Neto atau biasa disebut Pendapatan Regional.
o Jika Pendapatan Regional tersebut dibagi dengan jumlah penduduk yang tinggal di wilayah tersebut akan diperoleh Pendapatan Regional Per Kapita.

3.3 Klasifikasi Sektor
Kegiatan ekonomi yang terjadi di suatu negara/daerah beraneka ragam sifat dan jenisnya. Berbagai kegiatan yang bercorak ragam ini perlu dikelompokkan sesuai dengan jenis kegiatan yang sama sehingga dapat ditentukan apakah suatu kegiatan termasuk dalam kelompok kegiatan ekonomi tertentu seperti pertanian, industri, perdagangan, jasa-jasa dan sebagainya. Pengelompokan kegiatan ekonomi ini sering pula disebut sebagai Klasifikasi Lapangan Usaha.
Pembagian klasifikasi ekonomi ke dalam sektor didasarkan pada kesamaan dan kebiasaan satuan ekonomi dalam berproduksi, sifat dan jenis barang dan jasa yang dihasilkan oleh masing-masing sektor dan penggunaan barang dan jasa bersangkutan. Keseragaman konsep/definisi dan klasifikasi diperlukan dalam rangka keterbandingan antara data yang dihasilkan sehingga gambaran mengenai perkembangan dan perbedaan antarwilayah, antarwaktu, dan antarkarakteristik tertentu dapat dilakukan.
Dalam upaya memperoleh keterbandingan data yang dihasilkan oleh berbagai negara, PBB menerbitkan publikasi mengenai Klasifikasi Lapangan Usaha yang berjudul International Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC). Publikasi ini telah direvisi beberapa kali sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Pembagian sektor-sektor menjadi subsektor serta ruang lingkup dan definisinya disajikan dalam penerbitan BPS yang terangkum dalam Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI).

BAB III
PEMBAHASAN

4.1 Analisis Sektoral Sektor Kehutanan
Nilai tambah bruto yang dihasilkan oleh sektor pertanian pada tahun 2006 mencapai 459,71 miliar rupiah. Nilai tambah yang dihasilkan oleh Sektor Pertanian hampir setengahnya disumbang dari subsektor kehutanan. Pada tahun 2006 Sektor Pertanian mampu memberikan kontribusi sebesar 20,98 persen terhadap pembentukan PDRB. Perlu juga dicermati bahwa kontribusi Sektor Pertanian ini dari tahun ke tahun terus menurun. Tahun 2000 terhitung kontribusi sektor ini terhadap total PDRB sebesar 48,02 persen, kemudian pada tahun 2001 turun menjadi 39,26 persen, tahun 2002 turun kembali menjadi 38,49 persen. Tahun 2003 semakin turun menjadi 37,07 persen, tahun 2004 hanya mencapai 33,22 persen, dan tahun 2005 hanya memiliki kontribusi sebesar 21,03 persen.
Secara keseluruhan NTB Sektor Pertanian mengalami penurunan sebesar 2,54 persen. Sejak lima tahun terakhir laju pertumbuhan Sektor Pertanian secara keseluruhan persentasenya menunjukkan kecenderungan yang melambat. Pada tahun 2001 laju pertumbuhan mencapai 7,20 persen. Akan tetapi tahun 2002 dan 2003 melambat menjadi 6,48 persen dan 4,60. Demikian pula halnya pada tahun 2004 dan 2005, laju pertumbuhan sektor ini kembali menunjukkan pelambatan yaitu menjadi 0,11 persen dan 0,39 persen. Pada tahun 2006 subsektor kehutanan yang mempunyai kontribusi dominan, mengalami laju pertumbuhan negatif 15,06 persen sehingga sekali pun subsektor lainnya tumbuh sangat cepat hingga di atas sepuluh persen, laju pertumbuhan Sektor Pertanian juga negatif.




tabel 1. Pertumbuhan Implisit dan Kontribusi Sektor Pertanian terhadap PDRB Kabupaten Nunukan 2000-2006

Tahun
Nilai Tambah Bruto
(juta Rp) Kontribusi (persen) Pertumbuhan NTB (persen) Pertumbuhan Implisit (persen)
(1) (2) (3) (4) (5)
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006 306.238
355.298
389.834
417.084
426.516
438.864
459.705 48,02
39,26
38,25
37,08
33,22
21,03
20,98 -
7,20
6,48
4,60
0,11
0,39
-2,54 -
8,23
3,04
2,29
2,15
2,49
7,48

Dilihat dari kontribusi masing-masing subsektor, terlihat bahwa selain subsektor kehutanan, kontribusi subsektor lainnya terhadap PDRB total masih sangat kurang. Seperti subsektor tanaman bahan makanan misalnya, dengan nilai tambah bruto 104,86 miliar subsektor ini hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 4,78 persen terhadap PDRB. Kontribusi terkecil diberikan oleh subsektor perikanan. Nilai tambah bruto yang diciptakan subsektor ini sebesar 27,16 miliar rupiah, dengan kontribusi hanya 1,24 persen terhadap nilai PDRB.
Selain mengetahui tingkat pertumbuhan masing-masing subsektor pada Sektor Pertanian serta kontribusinya, perlu juga dilihat perkembangan harga yang terjadi, yaitu melalui indeks implisit. Indeks implisit ini menunjukkan tingkat inflasi yang terjadi pada setiap sektor ditingkat harga produsen. Secara keseluruhan Sektor Pertanian mengalami inflasi sebesar 7,48 persen. Tingkat inflasi tertinggi terjadi pada subsektor kehutanan yaitu sebesar 8,23 persen sebagai akibat dari berkurangnya produksi kayu. Inflasi terendah pada subsektor peternakan dan hasil-hasilnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di tabel-tabel yang terdapat dibawah ini.

Tabel 2. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha Tahun 2002 - 2006 (Juta Rupiah)
Lapangan usaha 2002 2003 2004 2005 2006*)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Pertanian
a. Tanaman bahan makanan
b. Tanaman perkebunan
c. Peternakan dan hasil-hasilnya
d. Kehutanan
e. Perikanan 389.834
77.351

29.227

38.344

227.078
17.833 417.084
73.374

31.475

41.703

250.156
20.377 426.516
79.604

36.337

46.288

242.626
21.661 438.864
80.931

41.314

48.195

244.387
24.037 459.705
104.856

50.394

52.614

224.680
27.160
2. Pertambangan dan Penggalian 392.308 436.986 551.262 1.302.007 1.267.162
3. Industri pengolahan 349 418 518 554 620
4. Listrik, gas dan air minum 5.374 6.804 8.370 9.490 10.790
5. Bangunan 58.321 76.201 80.496 82.389 91.757
6. Perdagangan, hotel dan restoran 98.391 105.369 126.101 152.176 220.895
7. Pengangkutan dan komunikasi 22.765 25.874 29.940 35.133 44.547
8. Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 1.788 1.957 2.108 2.305 2.708
9. Jasa-jasa 50.005 54.239 56.541 63.929 93.426
Produk Domestik Regional Bruto 1.019.135 1.124.931 1.281.850 2.086.848 2.191.609
Produk Domestik Regional Bruto tanpa Migas 635.770 698.130 802.670 1.019.946 1.183.567



Tabel 3. PDRB Atas Dasar Harga Konstan menurut Lapangan Usaha Tahun 2002 - 2006 (Juta Rupiah)
Lapangan usaha 2002 2003 2004 2005 2006*)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Pertanian
a. Tanaman bahan makanan
b. Tanaman perkebunan
c. Peternakan dan hasil-hasilnya
d. Kehutanan
e. Perikanan 349.575
61.030

23.790

28.112

219.736
16.907 365.651
54.768

24.769

29.903

238.461
17.750 366.039
58.403

27.819

32.059

229.539
18.219 367.474
57.785

31.482

32.749

225.562
19.896 358.132
72.861

38.017

33.278

191.600
22.375
2. Pertambangan dan Penggalian 383.825 402.160 470.751 547.604 516.134
3. Industri pengolahan 331
369 391 417 462
4. Listrik, gas dan air minum 5.074 5.560 6.559 7.432 8.045
5. Bangunan 56.648 73.817 77.137 78.526 87.243
6. Perdagangan, hotel dan restoran 78.111 80.485 95.227 113.928 146.042
7. Pengangkutan dan komunikasi 20.939 21.620 23.048 24.886 27.247
8. Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 1.481 1.585 1.679 1.757 1.930
9. Jasa-jasa 39.873 40.505 42.023 44.571 54.893
Produk Domestik Regional Bruto 935.858 991.752 1.082.855 1.186.594 1.200.127
Produk Domestik Regional Bruto tanpa Migas 559.687 597.835 675.652 789.742 845.457


Tabel 4. Laju Pertumbuhan PDRB menurut Lapangan Usaha Tahun 2002 - 2006 (%)
Lapangan usaha 2002 2003 2004 2005 2006*)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Pertanian
a. Tanaman bahan makanan
b. Tanaman perkebunan
c. Peternakan dan hasil-hasilnya
d. Kehutanan
e. Perikanan 6,48
19,10

15,78

7,24

2,24
10,13 4,60
-10,26

4,11

6,37

8,52
4,99 0,11
6,64

12,31

7,21

-3,74
2,64 0,39
-1,06

13,17

2,15

-1,73
9,20 -2,54
26,09

20,76

1,61

-15,06
12,46
2. Pertambangan dan Penggalian 8,29 4,78 17,06 16,33 -5,75
3. Industri pengolahan 13,65 11,43 5,92 6,59 10,85
4. Listrik, gas dan air minum 7,63 9,56 17,99 13,30 8,25
5. Bangunan 24,29 30,31 4,50 1,80 11,10
6. Perdagangan, hotel dan restoran 15,96 3,04 18,32 19,64 28,19
7. Pengangkutan dan komunikasi 17,70 3,25 6,61 7,97 9,49
8. Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 19,96 6,99 5,95 4,63 9,88
9. Jasa-jasa 11,25 1,59 3,75 6,06 23,16
Produk Domestik Regional Bruto 9,39 5,97 9,19 9,58 1,14
Produk Domestik Regional Bruto tanpa Migas 10,07 6,82 13,02 16,89 7,05


4.2 Pertumbuhan PDRB Sektor Kehutanan
Sumber daya alam yang melimpah dan ditunjang dengan letak geografis yang sangat strategis yang berbatasan langsung dengan Negara Malaysia telah memberikan daya tarik yang luar biasa bagi para investor untuk melakukan investasi pengembangan usahanya. Peranan komoditas unggulan di Kabupaten Nunukan dapat dilihat dari distribusi PDRB sektoral, baik atas dasar harga berlaku maupun atas harga konstan. Dari 11 sektor ekonomi nampak sektor ekonomi kehutanan walau dalam sub sektor pertanian masih tetap dominan dibanding dengan sektor-sektor lainnya, walaupun menunjukan kecenderungan menurun. Di PDRB atas harga berlaku dengan migas tahun 2000 adalah 47,75% atau tanpa migas 74,93%.
Prestasi yang dicapai ini tentu saja berbeda untuk setiap tahunnya, akan tetapi apa yang telah dicapai oleh Kabupaten Nunukan selama dekade tersebut. Sedikit banyak merupakan prestasi yang cukup membanggakan karena perekonomiannya lebih cepat dibandingkan dengan yang terjadi dengan Propinsi Kalimantan Timur yang hanya mencapai 4,9 % saja.
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha
Tahun 2002 - 2006 (Juta Rupiah)
!Gambar 1.
PDRB Atas Dasar Harga Konstan menurut Lapangan Usaha
Tahun 2002 - 2006 (Juta Rupiah)

Gambar 2.
Laju Pertumbuhan PDRB Sektor Kehutanan menurut Lapangan Usaha
Tahun 2002 - 2006 (%)
Gambar 3.

PDRB Atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha
Tahun 2002 - 2006 (Persen)

Gambar 4.

PDRB Atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha
Tahun 2006 (Persen)

Gambar 5.
4.3 Struktur Perekonomian
Berdasarkan data-data diatas maka dapat dilihat Subsektor kehutanan pada sektor pertanian dari tahun ketahun terus mengalami naik turun, namun persentasinya terus menurun dari tahun ke tahunnya mulai dari tahun 2002 yang menyumbangkan 22,28% hingga tahun 2006 menghasilkan NTB (Nilai Tambah Bruto) sebesar 224 miliar rupiah dengan kontribusi sebesar 10,25 persen, menurun jika dibandingkan dengan tahun 2005 sebesar 11,71 % dan begitu juga pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi kontribusi subsektor kehutanan ini masih dominan di bandingkan dengan subsektor lain yang ada pada Sektor Pertanian. Walaupun relatif kecil bila dibandingkan dengan kontribusi subsektor Kehutanan, subsektor lain pada Sektor Pertanian mengalami peningkatan kontribusi. Kontribusi subsektor Pertanian Tanaman Bahan Makanan meningkat dari 3,88 persen pada tahun sebelumnya menjadi 4,78 persen. Subsektor Tanaman Perkebunan dari 1,98 persen menjadi 2,30 persen, subsektor Peternakan dan Hasilhasilnya dari 2,31 persen menjadi 2,40 persen, dan subsektor Perikanan dari 1,15 persen menjadi 1,24 persen.

BAB IV
KESIMPULAN dan SARAN

5.1 Kesimpulan
Kawasan Pengembangan Ekonomi (KPE) Kabupaten Nunukan merupakan wilayah depan garis perbatasan negara, maka kebijakan pembangunan kawasan perbatasan tidak cukup hanya bersandar pada keunggulan komparatif yang ada. Tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana mengubah keunggulan komparatif ini menjadi keunggulan kompetitif. Diharapkan dengan modal keunggulan komparatif yang kompetitif. Para investor akan lebih tertarik untuk melakukan investasi di kawasan perbatasan terutama dalam menarik investor yang berasal dari Sabah dan Serawak-Malaysia. Untuk itu pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana serta di dukung dengan sarana prasarana yang memadai merupakan hal yang perlu dicermati
Kabupaten Nunukan sebenarnya memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah baik seperti sumber daya mineral, maupun batubara yang memiliki kualitas golongan A dan Sektor komoditas unggulan seperti pertanian, peternakan, kehutanan dll merupakan jumlah terbesar dalam memberikan sumbangan terbesar terhadap PDRB Kabupaten Nunukan.
Sektor Kehutanan dalam kontribusinya terhadap PDRB Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur walaupun masih lebih kecil dari pertambangan dan yang lainnya namun sektor kehutanan merupakan unggulan dari pertanian, karena hampir setengahnya pertanian disumbangnya dari sektor kehutanan. Sektor kehutanan dari tahun ketahunnya mengalami perubahan yang naik turun dengan diengaruhi jumlah penduduk, namun secara keseluruhan persentasi dari keseluruhan mengalami penurunan setiap tahunnya.



5.2 Saran
Setelah dilihat dari keterangan hasil analisis mengenai PDRB di dari sektor kehutanan yang masih di dalam subsektor pertanian Kabupaten Nunukan Maka dari itu untuk mempersiapkan perkiraan tersebut diperlukan pembenahan terhadap permasalahan yang berhubungan dengan ekonomi serta sumber daya alamnya seperti Rendahnya tingkat pendidikan yang rata-rata hanya mencapai tamatan sekolah dasar, Pengelolaan terhadap sumber daya alam yang masih tradisional, sulitnya memasarkan hasil produksi dikarenakan infrastruktur pendukung yang tidak memadai dll.

DAFTAR PUSTAKA

Hanafiah H, Sudarmaji Imam, 2007, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Nunukan 2007 Menurut Lapangan Usaha, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur
Pengembangan Kawasan Pusat-Pusat Pertumbuhan di Kawasan Perbatasan Negara Pulau Kalimantan

selengkapnya >>

kutu lak

ARTIKEL BHHBK

BUDI DAYA KUTU LAK (Leccifer lacca, Kerr)

Oleh : Laurio Leonald

2006071448

Hasil budidaya kutu lak dapat diperoleh seedlak yang berguna untuk pembuatan pernis, industri listrik, perekat, plitur, dan kabel juga seedlak dipergunakan untuk bahan pewarna (Edible dye) pewarna minuman ringan dan makanan dapat juga dipergunakan sebagai bahan campuran untuk lapisan luar pada cokelat. Selain itu, air limbah dari pengolahan lak cabang banyak mengandung bahan pewarna yang utamanya adalah asam lakaik yang berguna untuk proses penyamakan wol, sutra, atau kulit dan juga dapat digunakan untuk penetralisir air kolam pada budidaya ikan lele.Kebutuhan lak dunia mencapai 9000 ton dengan India sebagai pemasok utama sebesar 50% (4500 ton), di Indonesia komoditi lak belum diproduksi secara maksimal.

Kesambi dengan nama latin (Schleichera oleosa, Merr) termasuk salah satu tumbuhan hutan yang beradapsi lokal, bermanfaat serbaguna (multi purpose) dan bernilai ekonomis dan sangat potensial. Buah pohon kesambi digemari oleh manusia, binatang dan burung. Oleh karena itu pohon kesambi dapat menjadi alternatif tanaman unggulan di dalam dan di luar kawasan hutan. Pada sisi lain pohon kesambi di Sulawesi Selatan mempunyai sejarah tentang manfaat penting kesambi pada masa kerjaan Sultan Hasanuddin. Dengan demikian pohon kesambi perlu dikembangkan karena selain serba guna, bersejarah, juga supaya tidak menjadi tanaman langka.

Di Indonesia ditemukan 2 (dua) jenis kesambi, yaitu kesambi kerikil dan kesambi kebo/kerbau. Ciri khas perbedaannya terletak pada daun dan kulit batang. Jenis kerikil mempunyai daun yang lebih kecil dan memanjang. Bentuk percabangan liar, dan kulitnya tipis dibandingkan dengan jenis kebo. Sedangkan kesambi jenis kerbau memiliki daun yang melebar pada ujungnya dan kulit kayu yang lebih tebal. Bentuk percabangan teratur dan tegak lurus ke atas. Tumbuhan ini tersebar di seluruh Asia Tenggara dan di Indonesia dapat ditemukan pada ketinggian nol s.d. 1200 m dari permukaan laut. Salah satu indikator pertumbuhan kesambi adalah jati. Pada wilayah yang ditumbuhi jati secara liar biasanya diikuti pula pertumbuhan kesambi. Artinya dimana ada jati yang tumbuh liar biasanya tanaman kesambi juga dapat tumbuh baik. Di Jawa, tanaman kesambi digunakan sebagai tanaman pengisi (sekat bakar) dalam hutan tamanan jati.

Kayu kesambi mempunyai struktur padat, rapat, kusut sangat keras dan lebih berat dari kayu besi. Karena itu apabila dapat mencapai umur yang lebih matang, kayunya berubah warna dari warna merah muda menjadi warna kelabu dan tidak berurat. Oleh karena itu dahulu lebih banyak digunakan sebagai bahan pembuatan jangkar untuk perahu kecil. Bahkan di Kabupaten Bulukumba, kayu kesambi merupakan bahan dasar untuk membuat perahu. Kesambi sebagai sumber kayu bakar potensial.

Secara garis besar, kultur (budi daya) lak dibagi dalam 6 tahapan pekerjaan. Tahap pertama adalah pemangkasan. Maksudnya dari pemangkasan tanaman inang untuk memberbanyak jumlah cabang-cabang yang dapat ditulari, dan menyediakan trubusan muda untuk tempat larva insekta lak.

Tahapan kedua adalah persiapan. Pada tahap ini dipersiapkan tanaman inang untuk ditulari lak. Berbagai jenis pekerjaan pada persiapan ini, di antaranya membersihkan ranting-ranting kecil pada pokok-pokok cabang dan ranting yang sakit atau mati. Semua tumbuhan liar yang mengganggu tumbuhan inang juga dibuang .

Setelah itu lak cabang yang telah masak untuk lak bibit dari hasil unduhan diseleksi. Yang bisa digunakan untuk lak bibit adalah lak cabang yang sehat, tidak mengandung predator pengrusak dan tidak mengandung parasit. Usai tahap ini barulah lak bibit ditularkan ke tanaman kesambi.

Supaya penularan mendapatkan hasil maksimum, maka hanya cabang dan trubusan yang sehat dan panjang saja yang di tulari. Maksimum berumur satu tahun. Penularan dilakukan pada saat pengunduhan, tujuannya supaya tidak terlalu banyak insekta lak terbuang.

Tahap berikutnya adalah penjagaan dan pemeliharaan. Pemeliharaan itu antara lain pembabatan tumbuh-tumbuhan liar dibawah tegakan yang dapat mengganggu kultur lak, terutama yang merambat pada tumbuhan inang, juga alang-alang dan rumput yang mudah terbakar pada musim kemarau.

Sejauh ini, predator dan parasit adalah musuh-musuh lak yang merugikan. Karena itu, untuk memberantasnya, dengan cara melakukan seleksi lak bibit seteliti mungkin. Bila terpaksa menggunakan bibit yang mengandung bibit parasit atua predator, maka harus dibungkus dengan kain kasa agar dapat mencegah keluarnya parasit dan predator dari lak bibit yang ditularkan.

Secara ekonomis, budi daya kutu lak sangat menjanjikan. Selain, belum banyak yang menggeluti bidang ini, harga dari hasil pengolahan kutu lak masih tinggi. Dengan demikian, pemerintah seharusnya lebih mengembangkan sektor yang tentunya dapat menunjang kebutuhan masyarakatnya dengan berbagai pengembangan tekhnologi pengolahan yang di gunakan.

selengkapnya >>

ulat sutera

ARTIKEL BHHBK

PETUNJUK PRAKTIS BUDIDAYA ULAT SUTERA

Oleh : Laurio Leonald

2006071448

PENDAHULUAN

Persuteraan Alam sudah cukup lama dikenal dan dibudidayakan oleh penduduk Indonesia. Mengingat sifat dan menfaatnya, maka Pemerintah melalui Departemen Kehutanan berupaya membina dan mengembangkan kegiatan persuteraan alam tersebut.

Budidaya ulat sutera dimaksudkan untuk menghasilkan benang sutera sebagai bahan baku pertekstilan. Untuk melaksanakan pemeliharaan ulat sutera, terlebih dahulu dilakukan penanaman murbei, yang merupakan satu-satunya makanan (pakan) ulat sutera, Bombyx mori L.

Manfaat kegiatan persuteraan alam sebagai berikut :

o Mudah dilaksanakan dan memberikan hasil dalam waktu yang relatif singkat;

o Memberikan tambahan pendapatan kepada masyarakat khusunya di pedesaan;

o Memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya;

o Mendukung kegiatan reboisasi dan penghijauan.

fuGuna mendukung pengembangan kegiatan persuteraan alam, maka tulisan ini ditujukan sebagai petunjuk praktis budidaya ulat sutera.

Alam:

Haiwan

Filum:

Artropoda

Kelas:

Serangga

Order:

Lepidoptera

Famili:

Bombycidae

Genus:

Bombyx

spesies

mori

frames

PERSIAPAN PEMELIHARAAN ULAT SUTERA

Sebelum kegiatan pemeliharaan ulat sutera dimulai, beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti : tersedianya daun murbei sebagai pakan ulat sutera, ruang dan peralatan pemeliharaan serta pemesanan bibit/telur ulat sutera.

1. Penyediaan Daun Murbei :

v Daun murbei untuk ulat kecil berumur pangkas $ 1 bulan dan untuk ulat besar berumur pangkas 2-3 bulan;

v Tanaman murbei yang baru ditanam, dapat dipanen setelah berumur 9 bulan;

v Untuk pemeliharaan 1 boks ulat sutera, dibutuhkan 400-500 kg daun murbei tanpa cabang atau 1.000 – 1.200 kg daun murbei dengan cabang;

v Daun murbei jenis unggul yang baik untuk ulat sutera adalah : Morus alba, M. multicaulis, M. cathayana dan BNK-3 serta beberapa jenis lain yang sedang dalam pengujian oleh Balai Persuteraan Alam Sulawesi Selatan.

2. Ruangan Peralatan.

v Tempat pemeliharaan ulat kecil sebaiknya dipisahkan dari tempat pemeliharaan ulat besar;

v Pemeliharaan ulat kecil dilaksanakan pada tempat khusus atau pada Unit Pemeliharaan Ulat Kecil (UPUK);

v Ruang pemeliharaan harus mempunyai ventilasai dan jendela yang cukup:

v Bahan-bahan dan peralatan yang perlu disiapkan adalah : Kapur tembok, kaporit/papsol, kotak/rak pemeliharaan, tempat daun, gunting stek, pisau, ember/baskom, jaring ulat, ayakan, kain penutup daun, hulu ayam, kerta alas, kerta minyak/parafin, lap tangan dan lain-lain;

v Desinfeksi ruangan dan peralatan, dilakukan 2-3 hari sebelum pemeliharaan ulat sutera dimulai, menggunakan larutan kaporit 0,5% atau formalin (2-3%), disemprotkan secara merata;

v Apabila tempat pemeliharaan ulat kecil berupa UPUK yang berlantai semen, maka setelah didesinfeksi dilakukan pencucian.

3. Pesanan Bibit.

v Pesanan bibit disesuaikan dengan jumlah daun yang tersedia dan kapasitas ruangan serta peralatan pemeliharaan;

v Bibit dipesan selambat-lambatnya 10 hari sebelum pemeliharaan ulat dimulai melalui petugas / penyuluh atau langsung kepada produsen telur;

v Apabila bibit/telur telah diterima, lakukan penanganan telur (inkubasi) secara baik agar penetasannya seragam.

Caranya adalah sebagai berikut :

v Sebarkan telur pada kotak penetasan dan tutup dengan kertas putih yang tipis;

v Simpan pada tempat sejuk dan terhindari dari penyinaran matahari langsung, pada suhu ruangan 25° -28° C dengan kelembaban 75-85%;

v Setelah terlihat bintik biru pada telur, bungkus dengan kain hitam selama $ 2 hari

PELAKSANAAN PEMELIHARAAN ULAT SUTERA

Kegiatan pemeliharaan ulat sutera meliputi pemeliharaan ulat kecil, pemeliharaan ulat besar serta mengokonkan ulat.

1. Pemeliharaan Ulat Kecil

Pemeliharaan ulat kecil didahului dengan kegiatan "Hakitate" yaitu pekerjaan penanganan ulat yang baru menetas disertai dengan pemberian makan pertama.

v Ulat yang baru menetas didesinfeksi dengan bubuk campuran kapur dan kaporit (95:5), lalu diberi daun murbei yang muda dan segar yang dipotong kecil-kecil;

v Pindahkan ulat ke sasag kemudian ditutup dengan kertas minyak atau parafin;

v Pemberian makanan dilakukan 3 kali sehari yakni pada pagi, siang, dan sore hari;

v Pada setiap instar ulat akan mengalami masa istirahat (tidur) dan pergantian kulit. Apabila sebagian besar ulat tidur ($ 90%), pemberian makan dihentikan dan ditaburi kapur. Pada saat ulat tidur, jendela/ventilasi dibuka agar udara mengalir;

v Pada setiap akhir instar dilakukan penjarangan dan daya tampung tempat disesuaikan dengan perkembangan ulat;

v Pembersihan tempat ulat dan pencegahan hama dan penyakit harus dilakukan secara teratur.

Pelaksanaanya sebagai berikut :

o Pada instar I dan II, pembersihan dilakukan masing-masing 1 kali. Selama instar III dilakukan 1-2 kali yaitu setelah pemberian makan kedua dan menjelang tidur;

o Penempatan rak/sasag agar tidak menempel pada dinding ruangan dan pada kaki rak dipasang kaleng berisi air, untuk mencegah gangguan semut;

o Apabila lantai tidak ditembok, taburi kapur secara merata agar tidak lembab;

o Desinfeksi tubuh ulat dilaksanakan setelah ulat bangun tidur, sebelum pemberian makan pertama.

Penyalur ulat kecil dari UPUK ke tempat pemeliharaan petani / kolong rumah atau Unit Pemeliharaan Ular Besar (UPUB), dilakukan ketika sedang tidur pada instar III. Perlakuan pada saat penyaluran ulat sebagai berikut :

v Ulat dibungkus dengan menggulung kertas alas;

v Kedua sisi kertas diikat dan diletakkan pada posisi berdiri agar ulat tidak tertekan;

v penyaluran ulat sebaiknya dilaksanakan pada pagi atau sore hari.

2. Pemeliharaan Ulat Besar.

Kondisi dan perlakuan terhadap ulat besar berbeda dengan ulat kecil. Ulat besar memerlukan kondisi ruangan yang sejuk. Suhu ruangan yang baik yaitu 24-26° C dengan kelembapan 70-75%.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan ulat besar adalah sebagai berikut :

v Ulat besar memerlukan ruangan/tempat pemeliharaan yang lebih luas dibandingkan dengan ulat kecil;

v Daun yang dipersiapkan untuk ulat besar, disimpan pada tempat yang bersih dan sejuk serta ditutup dengan kain basah;

v Daun murbei yang diberikan pada ulat besar tidak lagi dipotong-potong melainkan secara utuh (bersama cabangnya).

v Penempatan pakan diselang-selingi secara teratur antara bagian ujung dan pangkalnya;

v Pemberian makanan pada ulat besar (instar IV dan V) dilakukan 3-4 kali sehari yaitu pada pagi, siang, sore dan malam hari;

v Menjelang ulat tidur, pemberian makan dikurangi atau dihentikan. Pada saat ulat tidur ditaburi kapur secara merata;

v Desinfeksi tubuh ulat dilakukan setiap pagi sebelum pemberian makan dengan menggunakan campuran kapur dan kaporit (90:10) ditaburi secara merata;

v Pada instar IV, pembersihan tempat pemeliharaan dilakukan minimal 3 kali, yaitu pada hari ke-2 dan ke-3 serta menjelang ulat tidur;

v Pada instar V, pembersihan tempat dilakukan setiap hari;

v Seperti pada ulat kecil, rak/sasag ditempatkan tidak menempel pada dinding ruangan dan pada kaki rak dipasang kaleng yang berisi air.

v Apabila lantai ruangan pemeliharaan tidak berlantai semen agar ditaburi kapur untuk menghindari kelembaban tinggi.

3. Mengokonkan Ulat.

Pada instar V hari ke-6 atau ke-7 ulat biasanya akan mulai mengokon. Pada suhu rendah ulat akan lebih lambat mengokon. Tanda-tanda ulat yang akan mengokon adalah sebagai berikut :

v Nafsu makan berkurang atau berhenti makan sama sekali;

v tubuh ulat menjadi bening kekuning-kuningan (transparan);

v Ulat cenderung berjalan ke pinggir;

v Dari mulut ulat keluar serat sutera.

Apabila tanda-tanda tersebut sudah terlihat, maka perlu di ambil tindakan sebagai berikut :

v Kumpulkan ulat dan masukkan ke dalam alat pengokonan yang telah disiapkan dengan cara menaburkan secara merata.

v Alat pengokonan yang baik digunakan adalah : rotari. Seri frame, pengokonan bambu dan mukade (terbuat dari daun kelapaatau jerami yang dipuntir membentuk sikat tabung).

PANEN DAN PENANGANAN KOKON.

Panen dilakukan pada hari ke-5 atau ke-6 sejak ulat mulai membuat kokon. Sebelum panen, ulat yang tidak mengokon atau yang mati diambil lalu dibuang atau dibakar.

Selanjutnya dilakukan penanganan kokon yang meliputi kegiatan sebagai berikut :

v Pembersihan kokon, yaitu menghilangkan kotoran dan serat-serat pada lapisan luar kokon;

v Seleksi kokon, yaitu pemisahan kokon yang baik dan kokon yang cacat/jelek;

v Pengeringan kokon, yaitu penanganan terhadap kokon untuk mematikan pupa serta mengurangi kadar air dan agar dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu;

v Penyimpanan kokon, dilakukan apabila kokon tidak langsung dipintal/dijual atau menunggu proses pemintalan.

Cara penyimpanan kokon adalah sebagai berikut :

o Dimasukkan ke dalam kotak karton, kantong kain/kerta;

o Ditempatkan pada ruangan yang kering atau tidak lembab;

o Selama penyimpanan, sekali-sekali dijemur ulang di sinar matahari;

o Lama penyimpanan kokon tergantung pada cara pengeringan, tingkat kekeringan dan tempat penyimpanan.

selengkapnya >>